Mewaspadai Berbagai Bentuk Syubhat

Mewaspadai Berbagai Bentuk Syubhat

Penulis: Ustadz Abu Isa Abdulloh bin Salam

Sumber: Majalah As Sunnah Edisi 24/II/1418-1997

Kata syubhat tampaknya sudah menjadi kata yang akrab dengan telinga salafiyyin, khususnya dikalangan thalabul ‘ilmi (pencari ilmu). Hal itu terjadi karena memang sering di sebut-sebut di dalam majelis ilmu, terutama tatkala membahas akidah. Adapun kata syubhat biasa untuk menamai suatu dalil dengan alasan yang di pakai untuk suatu hal yang menyelisihi Al Haq. 

Syubhat biasa di pakai oleh kalangan yang ingin melegalisasi pendapat mereka, meskipun sesungguhnya pendapatnya jelas-jelas menyelisihi al haq. Oleh karena itu banyak cara yang bisa ditempuh untuk tercapainya tujuan tersebut. Tentunya yang menjadi korban adalah kalangan awam atau mereka yang kurang waspada akan hal tersebut. Hingga kemudian mereka berpegang dengan syubhat tersebut. Bahkan terkadang ikut pula memopulerkannya, dalam keadaan merasa berpegang kepada dalil atau alasan yang jelas. 

Dengan melihat kasus tersebut di atas, maka tahulah kita bahwa syubhat tidak hanya muncul dari orang-orang yang memang ada kepentingan dengan syubhat tersebut untuk mendapatkan keuntungan pribadi atau kelompok, akan tetapi bisa juga muncul dari orang-orang yang ikhlas dalam berdalil dikarenakan ketidaktahuannya. Dengan kata lain, mereka telah terperangkap dalam suatu syubhat tetapi tidak menyadarinya!.

Dalam rangka nushil ummah (memberi nasihat kepada umat) supaya terbebas dari berbagai syubhat (bitaufiqillah) insya Allah akan penulis paparkan bentuk-bentuk syubhat yang menurut hemat penulis banyak memakan korban. Adapun kalau kemudian ada yang merasa menjadi korban dari syubhat tersebut, sudah semestinya untuk segera bertaubat dan kembali ke jalan yang haq dan tidak selayaknya untuk tenggelam dalam penyesalan diri, kemudian mencari kambing hitam atau bahkan justru tersinggung dan sakit hati. Sikap yang terakhir ini tentulah bukan sikap seorang muslim yang baik.

Berikut ini berbagai bentuk cara yang di tempuh oleh ahlul Hawa (pengikut hawa nafsu) beserta contoh-contohnya (diterangkan dari berbagai referensi) :

1. Berdalil dengan ayat atau hadits mutasyabihat (Lihat Kasyfu asy-Syubhat hal. 34)

Allah berfirman:”Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-ayat yang muhkamat (yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah), itulah pokok-pokok isi Al Quran dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya”. (QS. Ali Imran: 7)

Ibnu Katsir berkata:

  • Muhkamat, yaitu jelas dan terang maksudnya, serta tidak ada yang samar terhadap maksudnya.
  • Mutasyabihat, yaitu di dalamnya tidak ada kesamaran akan maksudnya bagi kebanyakan orang atau sebagian orang.

 

Jadi firmannya:

Maksudnya keluar dari al-Haq menuju kebatilan. Maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat dimana memungkinkan bagi mereka untuk memalingkannya/membelokkannya sesuai dengan tujuan mereka yang batil, karena memang kandungan lafaznya memungkinkan untuk dipalingkan.

Rasulullah bersabda berkaitan dengan masalah ini:

”Apabila kamu melihat orang-orang yang mengikuti apa-apa yang samar daripadanya, maka merekalah orang-orang yang dimasksudkan oleh Alloh. Maka waspadalah”. ( Tafsir Ibnu Katsir 1/460)

Salah satu contohnya, Ahlul Bid’ah berdalil dengan ayat:

”Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia” (QS. As Syura:11)

Untuk menyatakan bahwasanya Alloh tidak mempunyai sifat, karena mereka beranggapan kalau menetapkan sifat berarti menyerupakan Alloh dengan makhluk-Nya, sehingga akan bertentangan dengan ayat tersebut. Pernyataan tersebut adalah batil, karena lanjutan ayat tersebut jelas menyatakan:

”Dan Dia Maha mendengar lagi Maha Melihat”.

Maka sesungguhnya maksud ayat tersebut, bahwasanya Alloh memiliki sifat-sifat, akan tetapi sifat-sifatNya seluruhnya berbeda dengan sifat-sifat Makhluk. (Lihat Syarh Aqidah Ath-Thawiyah hal. 98 dan 117)

2. Berdalil dengan ayat atau hadits secara sembarangan.

Maksudnya mereka dalam berdalil sama sekali tidak memperhatikan kaidah-kaidah istidlal (penggunaan dalil). Biasanya dilakukan untuk membela pendapat yang sudah terlanjur diucapkan atau diyakini, tanpa dalil. Sikap seperti ini jelas sikap Ahlu Batil (orang-orang yang mengikuti kebatilan).

Maka barang siapa berbicara tentang agama ini tanpa ilmu, sungguh dia adalah pengikut hawa (nafsu). Alloh berfirman:

“Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun”. (QS. Al-Qashash: 50)

Dan firmannya:

Katakanlah: “Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS Al A’raaf: 33)

Umar berkata: “As sunnah adalah apa-apa yang telah disunahkan oleh Allah dan Rasulnya. janganlah kalian menjadikan kesalahan pendapat sebagai sunnah bagi umat”.

Abu Bakar Ash Shiddiq berkata: “Bumi mana tempat aku berpijak dan langit mana tempat aku berlindung jika aku berkata tentang ayat dari kitabullah dengan pendapatku semata atau apa-apa yang aku tidak mengetahuinya?” (Lihat Aqidah Ath-Thahawiyyah hal. 385)

Sebagai contoh syubhat di dalam model ini. Allah berfirman:

“Dia membiarkan kedua lautan mengalir, yang keduanya kemudian bertemu”. (QS. Ar-Rahman: 19)

Syiah Rafidhah mengatakan bahwa maksudnya dua lautan tersebut adalah ‘Ali dan Fathimah, hal ini terjadi disebabkan oleh sikap keterlaluan mereka dalam memuji ‘Ali dan keluarganya. Sementara mereka memaksudkan ayat-ayat Al Quran tentang pohon yang terlaknat adalah Bani Umayyah, disebabkan oleh kebencian mereka kepada Muawiyyah dan keluarganya. ( Lihat Syarh Muqoddimah Tafsir Ibnu Taimiyyah, karya syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin)

3. Berdalil dengan hadits dhaif atau palsu.

Termasuk perkara yang menimbulkan bid’ah-bid’ah adalah adanya hadits-hadits yang tidak shahih. Al-Hafidz Abul Khattab bin Dahyah berkata : “Waspadalah wahai hamba-hamba Allah dari pendusta yang meriwayatkan hadits kepada kalian, yang di bawakan untuk menampakkan kebenaran (Al Khair). Karena yang namanya Al Khair semestinya apa-apa yang disyariatkan oleh Rasululloh. Maka apabila ternyata merupakan kedustaan, berarti bukan yang disyariatkan. Dan dengan sikap menampilkannya merupakan sikap membantu syaitan”.

Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam menerima berita yang dinisbatkan kepada Rasululloh atau kepada salafush shalih. Kita seleksi mana yang shahih dan mana yang dhaif (lemah). Untuk kemudian kita terima yang shahih saja dan kita buang yang dhaif .

Siapa pun harus takut bila termasuk yang disabdakan oleh Rasulullah:

“Barangsiapa yang berbicara atas namaku, padahal dia tahu itu dusta, maka dia termasuk pendusta”. (Lihat ‘Ilmu Ushul Bida’ hal. 135-57)

Contoh-contoh hadits dhaif yang banyak diamalkan orang yaitu hadits tentang talqin mayat setelah dikubur. Hadits tersebut telah didhaifkan (dilemahkan) oleh para ulama, bahkan di antara mereka ada yang berpendapat atas bid’ahnya mengamalkan hadits-hadits tersebut. Juga hadits-hadits tentang perayaan hari ‘As Syura (tanggal 10 Muharram), tentang memuliakan ayam jago putih, adalah hadits-hadits yang maudhu’ (palsu).

4. Mendahulukan akal atas naql (wahyu).

Menjadi keimanan setiap muslim yang beriman untuk menerima (pasrah) terhadap naql (wahyu/Al Kitab dan As Sunnah) dan tidak mempertentangkannya dengan akal, atau menyatakan bahwa akal bertentangan dengan apa yang ditunjukkan oleh naql (wahyu). Sesungguhnya kondisi seperti ini tidak akan pernah terjadi . Artinya selama naql benar-benar shahih (dari Allah dan Rasul-Nya), tidak mungkin akan bertentangan dengan akal yang sehat. Apa sebabnya? karena akal telah menunjukkan benarnya naql dan menunjukkan wajibnya menerima apa yang diberitakan oleh Rasulullah. Maka apabila kita menolak naql, berarti kita telah menolak apa yang telah di tunjukkan oleh akal. Dan kalau kita menolak apa yang telah di tunjukkan akal, berarti akal tidak bisa di pakai untuk menentang naql, sehingga mendahulukan akal atas naql pada hakikatnya merusak akal itu sendiri. Dan orang-orang yang mempertentangkan naql dengan akal sungguh menyerupai iblis tatkala dia menolak perintah Allah dengan mengatakan:

“Sesungguhnya aku lebih baik daripada dia. Engkau menciptakan aku dari api, sedangkan dia Engkau ciptakan dari tanah” (QS. Al A’raaf: 12)

Adapun contoh-contoh seperti ini banyak kita dapatkan pada ‘Ahlul Bida’ (orang-orang yang suka melakukan Bid’ah) dari kalangan Bathiniyah, Filosof, Mu’tazilah dan orang-orang yang terpengaruh dengan pemikiran mereka. Kita harus waspada, sebab mereka sering menamakan tindakannya dalam mempertentangkan antara naql dengan akal dengan istilah takwil (tafsir). Padahal mengubah hakikatnya adalah Tahrif (mengubah lafal atau makna) dalam rangka mengelabui orang jahil (awam).

Misalnya, mereka mentahrif (menyimpangkan) dalil-dalil tentang ru’yah Allah (melihat Allah pada hari kiamat) dengan alasan akal menyatakan mustahilnya. Perkataan mereka jelas menyelisihi orang-orang yang berakal sehat. Sebab menurut akal sehat, sesuatu yang berdiri sendiri mustahil kalau tidak bisa di lihat. ( Syarh Aqidah Ath-Thawiyah hal. 199-211)

5. Berlindung di balik zallah (terpelesatnya) para ulama.

Kita meyakini bahwa individu umat ini tidak ada yang ma’sum (terjaga dari kesalahan) selain Rosululloh. Tanpa terkecuali termasuk para ulama. Kita meyakini bahwa mereka dapat terjerumus dalam dosa, namun kita tetap mengharap agar mereka tetap mendapat kedudukan yang tinggi karena Allah telah mengistimewakan mereka sebagai orang-orang yang beramal saleh, dan sejalan dengan sunnah, serta tidak termasuk ke dalam orang-orang yang terus menerus dalam dosa. (Raf’ul Malaam ‘an a-immatil a’lam hal. 45)

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata : “Sesungguhnya imam-imam besar ahli ilmu apabila telah di ketahui kebenarannya, di ketahui kehati-hatiannya terhadap al-haq dan keluasan ilmunya serta tampak kecerdasannya, kemudian di kenal sebagai orang yang shalih, wara’, serta ittiba’nya maka keterpelesetannya diampuni. Oleh karena itu tidak boleh bagi kita menganggapnya sesat, kemudian membuangnya, melupakan kebaikannya. Memang benar bahwa kita tidak boleh mengikutinya dalam kebid’ahan dan kesalahannya, tetapi kita berharap agar ia bertaubat dari kesalahannya tersebut”.

Selanjutnya beliau berkata: “Apabila setiap kesalahan seorang imam lalu kita anggap ia sebagai mubtadi’ (orang-orang yang suka melakukan bid’ah) dan kita tinggalkan/asingkan (hajr), maka tidak ada orang yang terlepas dari kesalahan, baik Ibnu Mashr atau Ibnu Mandah ataupun orang yang lebih utama dari keduanya!!”. Masih kata beliau. “Sebagian ulama senantiasa berselisih (berbeda pendapat satu sama lainnya dan bantah membantah, maka tidak pantas bagi kita untuk mencela seorang alim pun berdasar hawa (nafsu) dan kebodohan. ( Al Majmu’ah Al ‘Ilmiyah hal. 110-111)

Di samping sikap yang salah dalam menyikapi para ulama sebagaimana tersebut di atas, juga muncul sikap salah dalam bentuk lain, yaitu menjadikan kesalahan ulama sebagai benteng untuk melindungi kesalahan mazhab atau kelompoknya, sebagaimana yang terjadi pada Ahlul Ahwa (orang-orang yang suka mengikuti hawa nafsu). Mereka menisbatkan (menyandarkan) dirinya sebagai salaf yang masyhur, di saat sebagian ulama Salaf terpelesat dan kebetulan mencocoki sebagian pendapat mereka. (Al-Aqidah Ath-Thahawiyah hal. 320)

6. Berpegang dengan makna bahasa saja.

Tidak diragukan lagi bahwa bahasa Arab mutlak diperlukan untuk memahami Al Kitab dan As Sunnah. Artinya tidak mungkin seseorang memahami keduanya tanpa menggunakan kaidah-kaidah bahasa Arab. Namun, bahasa Arab saja tidak cukup untuk memahami keduanya. Banyak perangkat yang dibutuhkan untuk memahami keduanya seperti Ilmu Tafsir, Ilmu Musthalah Al Hadits, Ilmu Ushul Fiqh, Sirah (sejarah) dan lain-lain. Tanpa perangkat-perangkat tersebut orang akan tersesat dari jalan yang benar.

Sebagai contoh apa yang terjadi pada kalangan sahabat tatkala mereka memahami surat Al An’aam ayat 82. Juga kesalahan Abu Bakar dalam memahami surat Al Insyirah ayat 6-7. Maka kemudian Rasulullah menjelaskan kepada mereka apa yang dimaksudkan oleh ayat-ayat tersebut (Fathul Madjid hal. 31-32). Juga kesalahan dari Imam Abu Hanifah tatkala mendefinisikan istilah “Al Iman” karena berpegang pada makna bahasa, akhirnya pendapat beliau malah sesuai dengan pendapat Murji’ah (Al-Aqidah Ath-Thawiyah hal. 331-357).

7. Berpegang pada sebagian dalil dan mengabaikan yang lain.

Alloh berfirman tentang Ahli Kitab:

“Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir)”. (QS. An Nisaa: 150)

Dan firmanNya:

“Dan janganlah kamu campur adukkan kebenaran dengan kebathilan dan menutup-nutupi kebenaran sedangkan kalian mengetahui”. (QS. Al Baqarah: 42)

Dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam:

“Sesungguhnya kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal (benar-benar mengikuti) hingga kalau seandainya mereka masuk ke dalam lubang biawak, sungguh kalian akan mengikutinya. para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah apakah Yahudi dan Nasrani?” Beliau menjawab : Siapa lagi?”. (Muttafaqun ‘Alaihi)

Dengan hadits ini pula syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab berdalil, bahwasanya sebagian umat ini akan beribadah kepada selain Allah!! (Fathul Madjid hal. 227-229). Sikap berpegang dengan sebagian dalil dengan mengabaikan dalil lain banyak dilakukan Ahlul Ahwa (pengiktu hawa nafsu). Seperti mereka yang menafikan/mengingkari sifat-sifat Allah (Al-Aqidah Ath-Thawiyah hal. 98-105), Jabariyah dan Qadariyah dalam masalah takdir (Al-Aqidah Ath-Thawiyah hal. 249-261), Khawarij dan Murji’ah serta Mu’tazilah dalam masalah status keimanan orang-orang yang melakukan dosa besar (Al-Aqidah Ath-Thawiyah hal. 316-324).

Oleh karena itu apakah tidak mungkin bahwa sikap sebagian orang yang membaro’ (melakukan pelepasan diri) dan menghajr (memboikot) sebagian lainnya dan kemudian saling membenci di antara satu sama lain adalah akibat kesalahan dari sisi ini!?.

8. Mengaku paling benar.

Termasuk senjata syubhat yang banyak dipakai oleh Ahlul Ahwa adalah seringnya mereka mengatakan apa yang mereka pahami adalah selaras dengan pemahaman salaf. Padahal hal tersebut merupakan kepalsuan dan kedustaan atas nama Salaf As-Shalih. Sehingga orang-orang awam yang lemah untuk mencari dalil dan meneliti kebenaran (kesesuaian) penggunaan dalil, menerima begitu saja pernyataan mereka itu!!?. Kasus kepalsuan dan kedustaan tersebut sebagaimana yang dilakukan oleh Asy’ariyyah, Al-Muwaffidhoh (kelompok yang enggan mengartikan sifat-sifat Allah) yang mengklaim bahwa pemahaman mereka adalah pemahaman Salaf atau Ahlus-Sunnah wal Jamaah. Misalnya dalam perkataan mereka:

Dan setiap nash yang terfahami sebagai tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk), maka ta’wilkan atau biarkan dan tinggalkanlah dalam rangka tanzih (mensucikan Allah).

Kemudian lanjutan syair:

Setiap kebaikan adalah dengan mengikuti Salaf (para pendahulu dari kaum muslimin). Dan setiap kejelekan adalah dengan mengikuti Khalaf (orang-orang kemudian dari kaum muslimin). ( Ta’dzhimu as-Sunnah hal. 49-50, Tanbihatul Lathifah hal. 18)

Namun pengakuan saja tidaklah cukup!!!, perhatikan penjelasan Ibnul Qayyim tentang firman Allah:

“Katakanlah, Inilah jalanku, aku mengajak menuju jalan Allah di atas ilmu (bashirah), aku dan orang-orang yang bersamaku. Maha suci Allah dan aku bukan termasuk dari orang-orang yang menyekutukan Allah”. (Yusuf: 108)

(Beliau berkata), “Ayat ini menunjukkan bahwa pengikut Rosululloh adalah Ahlul ‘Ilmi (pemilik ‘ilmu) dan da’i ilallah (penyeru ke jalan Allah). Barang siapa yang tidak seperti mereka, pada hakikatnya bukanlah pengikut beliau dan tidak sesuai dengan Rosululloh meskipun secara pengakuan merupakan pengikut beliau (Fathul Madjid hal. 71)

Maka tatkala kita telah menyatakan bahwa kita sunni, salafi, cocokkanlah apa-apa yang kita ilmui dan kita amalkan dengan ilmu dan amal Salafus shalih. Berlapang dadalah untuk menerima kritik dan teguran dari orang lain, kemudian introspeksi diri, jangan-jangan kita sendiri yang menyelisih manhaj salaf. Dengan demikian dari manapun datangnya kebenaran, kita harus menerimanya.

9. Memberi gelaran buruk dan membuat cerita-cerita dusta untuk menghalang-halangi manusia menerima kebenaran.

Merupakan hal yang senantiasa di hadapi para rasul tatkala berdakwah kepada umatnya, kemudian mendapat julukan buruk. Sebagaimana di sebutkan di dalam firman Allah:

“Demikianlah, tidak datang kepada orang-orang sebelum mereka seorang rasul pun kecuali mereka mengatakan tukang sihir atau orang gila”. (QS. Adz-Dzariyaat: 52)

Syaih Muhammad bin Jamil Zainu berkata: “Ayat ini meskipun berkaitan dengan orang-orang kafir, akan tetapi berkenaan juga atas setiap orang, termasuk orang islam yang memiliki sifat sebagaimana sifat mereka. Mereka memusuhi da’i-da’i Tauhid, mengarang cerita-cerita dusta dan menggelari mereka dengan nama-nama yang mengerikan dalam rangka menghalang-halangi orang agar jangan sampai berhubungan dengannya”.

Mereka mengatakan bahwa para pengikut Wahabi (Muhammad bin Abdul Wahab) adalah orang-orang yang menyelisihi umat islam, tidak beriman terhadap para wali Allah dan karomahnya, tidak mencintai Rasul dan tuduhan-tuduhan dusta lainnya (Al-Firqah an-Najiyah hal. 40).

Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu melanjutkan: “Sebagian orang menjuluki kami sebagai Wahabiyyun (orang-orang yang mengikuti paham Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab), maka sebutan ini dapat di kategorikan sebagai panggilan dan gelaran yang jelek. Padahal Allah betul-betul telah melarang hal tersebut dengan firmannya:

“Janganlah kalian saling memanggil dengan gelar-ghelar yang buruk!”. (Al-Hujurat: 11)

Imam Syafi’i dahulu juga di tudah sebagai Rafidhiy (Syi’ah), maka beliau bantah dengan mengatakan: “Jika orang-orang Rafidhah adalah orang-orang yang mencintai Ahlul Bait (Keluarga Rasulullah), maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwasanya saya adalah Rafidhiy”. Maka kami bantah pula orang-orang yang menjuluki kami dengan gelar Wahabi dengan perkataan salah seorang penyair:

“Jika mengikuti Ahmad (Muhammad) di juluki Wahabi, maka saya mengikrarkan bahwa saya seorang Wahabi”. (Al-Firqah an-Najiyah hal. 47)

Demikian juga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, di juluki sebagai Naashiby, maka beliau menyatakan:

“Jika Naashibah mencintai shahabat Muhammad, maka saksikanlah wahai jin dan manusia bahwa saya adalah Naashibi”. ( Syarh Al-Qasidah An-Nuniyah hal. 10)

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani pun tidak luput dari tuduhan. Beliau di tuduh Murji’ah (Kaset ceramah Syaikh Ali Hasan).

Nampaknya di Indonesia juga muncul trend memberikan gelaran dan tuduhan yang sangat jelek kepada beberapa dai tanpa dasar, seperti gelar makelar Salaf, maling, anjing gila, Muhaddits boipung (koboi kampung), bajingan, centeng pasar, Hizbi, Sururi, dan lain-lain, lebih parah lagi di sertai cerita-cerita kosong belaka?!.

Sebagian syubhat seperti ini sangatlah rapuh, namun karena kebanyakan orang mudah tertipu dengan kuantitas, suara lantang (tabligh akbar) dan isu-isu, maka banyak pula orang yang terperangkap ke dalam syubhat ini dari zaman ke zaman.

10. Menghiasi Kebatilan sehingga nampak sebagai Al-Haq.

Allah berfirman:

“Demikianlah kami jadikan untuk setiap nabi sebagai musuh setan dari jenis jin dan manusia, saling mewahyukan sebagian terhadap sebagian yang lain perkataan-perkataan yang dusta yang di hias-hiasi”. (QS Al An’am: 112)

Syaikh Abdurrahman Nashir As Sa’di berkata tentang ayat ini, bahwasanya sudah merupakan sunnatullah (ketentuan Allah), bahwa Allah membuatkan bagi para Nabi musuh-musuh dari kalangan jin dan manusia yang menolak, memerangi dan mendengki dakwah para Nabi dengan tujuan menegakkan kebalikan dari ajaran para rasul. Di mana mereka satu sama lain saling menghiasi perkara yang mereka serukan dengan ungkapan-ungkapan yang indah, sehingga tampak paling indah bagi orang-orang bodoh yang tidak mengetahui perkara sesungguhnya atau hakikat di balik nama yang indah tersebut, sehingga mereka meyakini kebatilan tersebut sebagai kebenaran dan kebenaran sebagai kebatilan. (Tafsir Karim Ar-Rahman jilid II hal. 62)

Kita lihat kenyataan yang ada pada masyarakat, kebatilan-kebatilan mereka namakan dengan nama-nama yang indah, misalnya kesyirikan mereka katakan menghormati budaya leluhur, tahrif (menyimpangkan makna nash) mereka katakan sebagai takwil atau tafsir, menolak takdir mereka katakan keadilan, riba mereka katakan bunga, pengumbar seks mereka katakan sebagai bintang. Tidak asing pula taklid dan ta’ashub (fanatisme) mereka sebut sebagai ittiba’ (mengikuti dalil) atau ihtiram (menghormat) kepada para ulama atau kyai atau ustadz?!.

Sebagai penutup, kami sampaikan bahwa akibat berbagai syubhat tersebut di atas ataupun yang belum di sebutkan, umat islam menjadi tercerai berai menjadi sekian banyak kelompok besar, dan setiap kelompok besar terpecah-belah menjadi kelompok kecil, dimana masing-masing pihak merasa kelompoknya paling benar. padahal semuanya menyimpang dengan berbagai tingkat penyimpangan hingga ada yang keluar dari islam. padahal yang lurus hanya satu yaitu Ahlul haq (Ahlussunnah wal Jamaah).

Perpecahan ini akan terus berlangsung sampai waktu yang Allah kehendaki dan tidak akan ada yang selamat dari perpecahan atau penyimpangan tersebut kecuali orang-orang yang di kehendaki untuk mendapatkan rahmat dari Allah. oleh sebab itu, tidak ada yang bisa kita lakukan kecuali harus banyak berdoa dengan tetap berusaha untuk mencari ilmu yang haq (benar), dengan ikhlas dan cara yang benar untuk di amalkan. Kepada segenap kaum muslimin, marilah kita banyak-banyak berdoa dengan doa yang diajarkan oleh Rasulullah, yaitu:

“Ya Allah, Rabb-nya Jibril, Mikail dan Israfil, pencipta langit dan bumi. Yang Maha Mengetahui yang ghaib maupun yang nampak. Engkau memutuskan apa-apa yang di perselisihkan di antara hamba-hamba-Mu, maka tunjukkanlah kepadaku kebenaran dengan izin-Mu dari apa-apa yang mereka perselisihkan. Sesungguhnya Engkau menunjukkan jalan yang lurus kepada siapa saja yang engkau kehendaki.

Wallahu a’lam

Daftar Rujukan:

  1. Terjemah Al-Qur’an.
  2. Terjemah Ibnu Katsir, cet. I Jum’iyyah Ihya At-Turats.
  3. Syarh Al-Aqidah Ath-Thahawiyah oleh Al ‘Allamah Ibnu Abi Al-‘Izzi Al Hanafi cet. Al-Maktabah Al-Islami cet. IX, tahqiq dan takhrij Syaikh Nashiruddin Al-Albani.
  4. Fathul Madjid, Syarh Kitab at-Tauhid oleh Syaikh Abdurrahman bin Hasan Ali Syaikh cet. Jum’iyyah Ihya at-Turots Kuwait.
  5. Al-Majmu’ah Al-Ilmiyah oleh Syaikh Bakr bin Abdullah Abu Zaid, cet I Daarul Ibnu Qoyyim.
  6. Tanbihul-Lathifah oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assa’di, cet. I Daarul Ibnu Qayyim.
  7. Ta’dzimus Sunnah oleh Syaikh Abdul Qayyum bin Muhammad bin Nashir, cet. Maktabah Ibnul Qayyim th. 1414 H.
  8. Syarh Muqoddimah Tafsir oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah cet. I Darul Wathan.
  9. Raf’ul Malam ‘an-A’immah al-‘Alam Syaikh Islam Ibnu Taimiyyah cet. ar-Risalah al-‘Amah li-Idaratil Buhutsil Ilmiyah wal iftah’ th. 1983 M.

10.  Riyadhus Shalihin oleh Imam An-Nawawi. cet. Jum’iyyah At-turots Al-Islami th. 1994 M.

11.  Al-I’tisham oleh Imam Asy-Syatibi cet. I Darul Ibnu Affan th 1992.

12.  Al-Firqatun Najiyah oleh Syaikh Muhammad Jamil Zainu cet. XVIII, Silisilah At-Taujihat nomor 3.

13.  Ahkamul Janaiz oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani cet. Maktabah Al-Ma’arif th. 1992.

14.  Taisiril Kalim ar-Rahman oleh Syaikh Abdurrahman bin Nashir Assa’di cet. ‘Alimil Kutub.

15.  Ilmu Ushul Al-Bida’ oleh Syaikh Ali Hasan bin Abdulhamid Al-Atsary cet. I Darul Rayah 1992 M.

16.  Syarh Al-Qasidah An-Nuniyah oleh Syaikh Muhammad Khalil Harras cet. Darul Kutub Al’Ilmiyah th. 1995.

17.  Kasyfu Asy-Syubhat ta’liq Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.

Leave a Reply

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: