Awas Korupsi Mengintai!!!

Awas Korupsi Mengintai!!!

Dari Abu Humaid as-Sa’idi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hadiah untuk para pegawai adalah ghulul (harta yang di dapat dari khianat terhadap amanah, korupsi).” (Hr. Ahmad, no. 23601)

عَنْ عَدِىِّ بْنِ عَمِيرَةَ الْكِنْدِىِّ قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:  مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَكَتَمَنَا مِخْيَطًا فَمَا فَوْقَهُ كَانَ غُلُولاً يَأْتِى بِهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ

Dari ‘Adi bin ‘Amirah al-Kindi, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa di antara kalian yang kami beri amanah dengan suatu pekerjaan, lalu dia tidak menyerahkan sebuah jarum atau yang lebih bernilai daripada itu kepada kami, maka harta tersebut akan dia bawa pada hari kiamat sebagai harta ghulul (korupsi).” (Hr. Muslim, no. 4848)

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ بُرَيْدَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنِ النَّبِىِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:  مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ

Dari Abdullah bin Buraidah dari ayahnya, Buraidah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa saja yang kami pekerjakan, lalu dia telah kami beri gaji, maka semua harta yang dia dapatkan di luar gaji (dari pekerjaan tersebut -pent) adalah harta yang berstatus ghulul (korupsi).” (Hr. Abu Daud, no. 2943; Dalam Kaifa, hlm. 11, Syekh Abdul Muhsin al-Abbad mengatakan, “Diriwayatkan oleh Abu Daud dengan sanad yang shahih dan dinilai shahih oleh al-Albani.”) Continue reading

Kesabaran Seorang Da’i

Kesabaran Seorang Da’i

Segala puji bagi Allah, Rabb seru sekalian alam, Raja yang menguasai langit dan bumi, Penguasa yang berhak mengatur dan mengendalikan jagat raya sebagaimana yang Dia ingini. Salawat dan salam semoga tetap terlimpah kepada Nabi penebar rahmah, Sang penutup nabi dan rasul, yang meninggalkan umatnya di atas ajaran yang terang-benderang. Amma ba’du.

Saudaraku, semoga Allah membimbing langkah kita untuk berjalan di atas jalan-Nya, … berlalunya waktu dan pergantian generasi dari sejak masa kenabian berlalu senantiasa diwarnai dengan gelombang yang menerpa bahtera dakwah agama yang hanif ini. Gelombang yang menghempaskan hati dan tubuh para penyeru kebenaran di tepi-tepi kesabaran dan terkadang menggiring sebagian mereka mendekati garis keputus-asaan…

Subhanallah! Betapa beruntung, orang-orang yang tetap teguh di atas kesabaran, mengharapkan ridha Allah atas dakwahnya, dan memiliki harapan yang panjang bagi masyarakat yang didakwahinya. Memang, kesabaran ini menjadi salah satu kunci keberuntungan. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Demi masa, sesungguhnya semua orang benar-benar berada dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasehati dalam kebenaran dan saling menasehati dalam menetapi kesabaran.” (QS. al-’Ashr: 1-3) Continue reading

BAHAYA AMBISI TERHADAP HARTA DAN KEHORMATAN

BAHAYA AMBISI TERHADAP HARTA DAN KEHORMATAN

 

Oleh : Imam Ibnu Rajab Rahimahullah (736-795) [1]

Segala puji bagi rabb alam semesta, shalawat dan salam semoga Allah limpahkan kepada nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarganya dan para shahabatnya sampai hari kiamat.

Dari Ka’ab bin Malik Al-Anshari Radhiyallahu ‘anhu dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bahwasanya beliau bersabda:

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلاَ فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الْمَرْءِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

“Dua ekor serigala yang lapar kemudian dilepas, menuju seekor kambing, (maka kerusakan yang terjadi pada kambing itu) tidak lebih besar dibandingkan dengan kerusakan pada agama seseorang yang ditimbulkan akibat ambisi terhadap harta dan kehormatan”. [2]

Hadit ini berisi permisalan yang sangat agung, yaitu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencontohkan kerusakan pada dien seorang muslim dengan sebab ambisi terhadap harta dan kehormatan di dunia. Hadits ini mengisyaratkan bahwa orang yang berambisi terhadap harta dan kehormatan (dunia) tidak akan selamat dari keutuhan keislamannya, kecuali sedikit orang yang selamat.

Permisalan yang agung ini mencakup peringatan keras dari bahaya ambisi terhadap harta dan kehormatan di dunia. Continue reading

Dokumen Rahasia Agama Syi’ah Imamiyah

Dokumen Rahasia Agama Syi’ah Imamiyah

Inilah DOKUMEN RAHASIA sekte agama Syiah, tentang misi jangka panjang mereka (50 th), untuk menegakkan kembali dinasti Persia yang telah runtuh oleh Islam berabad-abad lamanya, sekaligus membumi-hanguskan negara-negara Ahlus Sunnah, musuh bebuyutan mereka. Dokumen ini disebarkan oleh Ikatan Ahlus Sunnah di Iran, begitu pula majalah-majalah di berbagai negara Ahlus Sunnah (ISLAM), termasuk diantaranya Majalah al-Bayan, edisi 123, Maret 1998.
Karena naskah yang tersebar adalah naskah dalam bahasa arab, maka kami terjemahkan ke dalam bahasa indonesia, agar orang yang tidak mampu berbahasa arab pun bisa memahami isi naskah tersebut.

Sekarang kami persilahkan Anda membaca terjemahannya:

((Bila kita tidak mampu untuk mengusung revolusi ini ke negara-negara tetangga yang muslim, tidak diragukan lagi yang terjadi adalah sebaliknya, peradaban mereka -yang telah tercemar budaya barat- akan menyerang dan menguasai kita.

Alhamdulillah, -berkat anugerah Allah dan pengorbanan para pengikut imam yang pemberani- berdirilah sekarang di Iran, Negara Syiah Itsna Asyariyyah (syiah pengikut 12 imam), setelah perjuangan berabad-abad lamanya. Oleh karena itu, -atas dasar petunjuk para pimpinan syi’ah yang mulia- kita mengemban amanat yang berat dan bahaya, yakni: menggulirkan revolusi.

Kita harus akui, bahwa pemerintahan kita adalah pemerintahan yang berasaskan madzhab syi’ah, disamping tugasnya melindungi kemerdekaan negara dan hak-hak rakyatnya. Maka wajib bagi kita untuk menjadikan pengguliran revolusi sebagai target yang paling utama.

Akan tetapi, karena melihat perkembangan dunia saat ini dengan aturan UU antar negaranya, tidak mungkin bagi kita, untuk menggulirkan revolusi ini, bahkan bisa jadi hal itu mendatangkan resiko besar yang bisa membahayakan kelangsungan kita.

Karena alasan ini, maka -setelah mengadakan tiga pertemuan, dan menghasilkan keputusan, yang disepakati oleh hampir seluruh anggota-, kami menyusun strategi jangka panjang 50 tahun, yang terdiri dari 5 tahapan, setiap tahapan berjangka 10 tahun, yang bertujuan untuk menggulirkan revolusi islam ini, ke seluruh negara-negara tetangga, dan menyatukan kembali dunia Islam (dengan men-syi’ah-kannya).

Karena bahaya yang kita hadapi dari para pemimpin Wahabiah dan mereka yang berpaham ahlus sunnah, jauh lebih besar dibandingkan bahaya yang datang dari manapun juga, baik dari timur maupun barat, karena orang-orang Wahabi dan Ahlus Sunnah selalu menentang pergerakan kita. Merekalah musuh utama Wilayatul Fakih dan para imam yang ma’shum, bahkan mereka beranggapan bahwa menjadikan faham syi’ah sebagai landasan negara, adalah hal yang bertentangan dengan agama dan adat, dengan begitu berarti mereka telah memecah dunia Islam menjadi dua kubu yang saling bermusuhan. Continue reading

Ayah, Ibu… Biarkan Ananda Istiqomah

Ayah, Ibu… Biarkan Ananda Istiqomah

Penulis: Ummu Rumman
Muroja’ah: Ustadz Abu Salman

Duhai, betapa indahnya jika kita bisa membahagiakan orang tua kita. Orang tua yang telah membesarkan kita dengan penuh kasih sayang. Orang tua yang telah mendidik dan merawat kita sedari kecil. Orang tua yang telah mengerahkan segala yang mereka punya demi kebahagiaan kita, anak-anaknya. Terima kasihku yang tak terhingga untukmu wahai Ayah Ibu.
Allah berfirman, yang artinya, “Dan Rabbmu telah memerintahkan kepada manusia janganlah ia beribadah melainkan hanya kepada-Nya dan hendaklah berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya.” (Qs. Al Israa’ 23)

Alangkah bahagianya seorang anak yang bisa menjalankan ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, dengan mendapatkan dukungan dari orangtuanya.

Akan tetapi, bagaimana jika orang tua melarang kita melakukan kebaikan berupa ketaatan pada Allah dan Rasul-Nya? Keistiqomahan kita, bahkan bagaikan api yang menyulut kemarahan mereka.

Di antara mereka bahkan ada yang menyuruh pada perbuatan yang dilarang Allah? Bagaimanakah seharusnya sikap kita?

Jika teringat kewajiban kita untuk berbakti pada mereka, terlebih teringat besarnya jasa mereka, berat hati ini untuk mengecewakan mereka. Sungguh hati ini tak tega bila sampai ada perbuatan kita yang menjadikan mereka bermuram durja. Continue reading

Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti Bid’ah

Ini Dalilnya (3): Tidak Semua yang Baru Berarti Bid’ah

Syubhat 1: Tidak Semua Yang Baru Berarti Bid’ah

Banyak orang yang salah faham akan makna bid’ah yang dimaksud oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yang mengatakan bahwa semua bid’ah adalah kesesatan. Mereka menganggap bahwa dengan memahami hadits ‘kullu bid’atin dholalah, wa kullu dholalatin finnaar’ [1] secara tekstual, maka semua orang akan masuk neraka, sebab kehidupan kita dipenuhi dengan bid’ah. Cara berpakaian, berbagai jenis perabotan rumah tangga, sarana transportasi, pengeras suara, permadani yang terhampar di masjid-masjid, lantai masjid yang terbuat dari batu marmer, penggunaan sendok dan garpu, hingga berbagai kemajuan teknologi lainnya, semua itu merupakan hal baru yang tidak pernah ada di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau. Semuanya adalah bid’ah dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa semua bid’ah adalah sesat dan semua yang sesat tempatnya di neraka.[2]

Pemahaman yang rancu semacam ini muncul dari ketidaktahuan mereka akan uslub (gaya bahasa) Al Qur’an, Hadits, atau ucapan para ulama yang senantiasa membedakan pengertian suatu kata dari segi etimologis (bahasa) dan terminologis (istilah/syar’i). Kerancuan tadi juga disebabkan oleh ketidak fahaman orang tersebut akan konteks suatu nash (ayat/hadits), atau karena pemahaman parsial — yang memegangi satu nash dan mengabaikan nash-nash lainnya–, atau akibat mencomot nash tersebut dari konteks selengkapnya. Dan yang terakhir ini cukup fatal akibatnya, sebagaimana yang akan kami jelaskan nanti. Continue reading

Aqidah Syi’ah Mencela Sahabat = Mencela Qur’an = Mencela Hadits = Mencela Allah = Mencela Nabi = Mencela Ahlul Bait

Aqidah Syi’ah Mencela Sahabat = Mencela Qur’an = Mencela Hadits = Mencela Allah = Mencela Nabi = Mencela Ahlul Bait

Mencela, melaknat dan mengkafirkan para sahabat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ibadah yang sangat mulia di sisi kaum yang beragama Syi’ah. Kalau dahulu mereka bertaqiyah (baca berdusta) menyembunyikan aqidah busuk mereka terhadap para sahabat, akan tetapi kebusukan mereka itu terungkap juga, bahkan mulai banyak dari tokoh-tokoh mereka yang terang-terangan mencaci maki dan melaknat para sahabat, (silahkan baca kembali http://www.firanda.com/index.php/artikel/30-sekte-sesat/65-bau-busuk-syiah-akhirnya-tercium-juga, lihat juga tulisan al-akh al-kariim al-Ustadz Abul Jauzaa’ di http://abul-jauzaa.blogspot.com/2012/01/syiah-itu-sesat-juragan-sebuah-masukan.html)
‘Aaamir bin Syarahbil As-Sya’bi rahimahullah (salah seorang imam dari para tabi’in yang bertemu dengan sekitar 500 sahabat, dan beliau wafat tahun 103 H) berkata:

وَفَضُلَتِ الْيَهُوْدُ وَالنَّصَارَى عَلَى الرَّافِضَةِ بِخَصْلَتَيْنِ : سُئِلَتِ الْيَهُوْدُ مَنْ خَيْرُ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوا : أَصْحَابُ مَوْسَى، وَسُئِلَتِ الرَّافِضَةُ : مَنْ شَرُّ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ، وَسُئِلَتِ النَّصَارَى : مَنْ خَيْرُ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : حَوَارِيُّ عِيسَى، وَسُئِلَتِ الرَّافِضَةُ : مَنْ شَرُّ أَهْلِ مِلَّتِكُمْ ؟ قَالُوْا : حَوَارِيُّ مُحَمَّدٍ، أُمِرُوا بِالاِسْتِغْفَارِ لَهُمْ فَسَبُّوْهُمْ

“Kaum Yahudi dan Nashoro lebih mulia dari pada kaum syi’ah dari dua sisi. (*Pertama :  ) Kaum yahudi ditanya, “Siapakah umat kalian yang terbaik?”, mereka menjawab, “Para sahabat Musa”. Dan kaum Rofidhoh ditanya, “Siapakah kaum terburuk dari umat kalian?”, mereka menjawab, “Para sahabat Muhammad”. Dan kaum Nashooro ditanya, “Siapakah umat kalian yang terbaik?”, mereka menjawab, “Para pengikut setia ‘Isa”, dan kaum Rofidhoh ditanya, “Siapakah dari umat kalian yang terburuk?”, mereka menjawab, “Para pengikut (sahabat) setia Muhammad”.(*Kedua :  ) Mereka (kaum Rofidhoh) diperintahkan untuk memohonkan ampun bagi para sahabat malah mereka mencela para sahabat” (*berbeda dengan kaum yahudi dan nashoro yang malah memuji dan mendoakan para sahabat Musa dan sahabat Isa-pent) (Syarh Ushuul I’tiqood Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah, karya Al-Laalikaai hal 1462-1463, dinukil juga oleh Al-Qurthubi dalam tafsirnya pada tafsir surat Al-Hasyr ayat 10) Continue reading

Syi’ah Itu Sesat Juragan (Sebuah Masukan untuk Bapak Profesor Umar Syihab dan Bapak Profesor Din Syamsuddin)

Syi’ah Itu Sesat Juragan (Sebuah Masukan untuk Bapak Profesor Umar Syihab dan Bapak Profesor Din Syamsuddin)
Adalah hal yang membuat kita mengelus dada ketika oknum ketua Majelis Ulama Indonesia yang masih mengaku ‘sunniy’ mengatakan Syi’ah itu tidak sesat. Ia adalah Prof. Umar Syihaab[1] – semoga Allah memberikan petunjuk kepadanya, dan orang-orang tidak silau dengan gelar yang disandangnya – yang mengatakan : “MUI berprinsip[2] bahwa mazhab Syiah tidak sesat.
Karena itu, MUI mengimbau umat Islam tidak terpecah belah dan menjaga ukhuwah islamiah serta tidak melakukan tindak kekerasan terhadap golongan berbeda”.[3] Di lain kesempatan ia berkata : “Misalnya ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa Syiah itu sesat -namun Alhamdulillah syukurnya belum ada MUI Daerah yang mengeluarkan fatwa seperti itu- maka fatwa tersebut tidak sah secara konstitusi, sebab MUI Pusat menyatakan Syiah itu sah sebagai mazhab Islam dan tidak sesat. Jika ada petinggi MUI yang mengatakan seperti itu, itu adalah pendapat pribadi dan bukan keputusan MUI sebagai sebuah organisasi“.[4]  Continue reading

Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan

Ini Dalilnya (2): Jadikan Manhaj Salaf Sebagai Rujukan

Kata ‘salaf’ secara bahasa berarti sesuatu yang telah lampau. Berikut ini kami nukilkan definisi ‘salaf’ dari beberapa kamus bahasa Arab yang kredibel [1]) ;

Ibnul Atsir –rahimahullah– mengatakan:

وَقِيْلَ سَلَفُ الإِنْسَانِ مَنْ تَقَدَّمَهُ بِالْمَوْتِ مِنْ آبَائِهِ وَذَوِي قَرَابَتِهِ وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ مِنْ التَّابِعِينَ السَّلَفَ الصَّالِحَ. {النهاية في غريب الأثر – (ج 2 / ص 981)}

“Salaf seseorang juga diartikan sebagai siapa saja yang mendahuluinya (meninggal lebih dahulu), baik dari nenek moyang maupun sanak kerabatnya. Karenanya, generasi pertama dari kalangan tabi’in dinamakan As Salafus Shaleh” [2])

Perhatikanlah firman-firman Allah berikut:

“Dan janganlah kamu kawini wanita-wanita yang telah dikawini oleh ayahmu, terkecuali pada masa yang telah lampau…” (Q.S. An Nisa’:22).

 Katakanlah kepada orang-orang yang kafir itu :”Jika mereka berhenti (dari kekafirannya), niscaya Allah akan mengampuni mereka tentang dosa-dosa mereka yang sudah lalu; dan jika mereka kembali lagi sesungguhnya akan berlaku (kepada mereka) sunnah (Allah terhadap) orang-orang dahulu” (Q.S. Al Anfal:38).

Jadi, ‘Salaf ’ artinya mereka yang telah berlalu. Sedangkan kata ‘shaleh’ artinya baik. Maka ‘As Salafus Shaleh’ maknanya secara bahasa ialah setiap orang baik yang telah mendahului kita. Sedangkan secara istilah, maknanya ialah tiga generasi pertama dari umat ini, yang meliputi para sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in.

Dalam kitab Al Wajiez fi ‘Aqidatis Salafis Shalih Ahlissunnah wal Jama’ah, Syaikh Abdullah bin Abdul Hamid Al Atsary mengatakan sebagai berikut:

وَفِي الاِصْطِلاَحِ : إِذَا أُطْلِقَ (( السَّلَفُ )) عِنْدَ عُلَمَاءِ الاِعْتِقَادِ فَإِنَّمَا تَدُورُ كُلُّ تَعْرِيْفَاتِهِمْ حَوْلَ الصَّحَابَةِ، أَوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ ، أََوِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِينَ وَتَابِعِيْهِمْ مِنَ الْقُرُوْنِ الْمُفَضَّلَةِ ؛ ِمنَ الأَئِمَّةِ الأَعْلاَمِ الْمَشْهُودِ لَهُمْ بِالإِمَامَةِ وَالفَضْلِ وَاتِّبَاعِ السُّنَّةِ وَالإِمَامَةِ فِيهَا ، وَاجْتِنَابِ الْبِدْعَةِ وَالْحَذَرِ مِنْهَا، وَمِمَّنْ اتَّفَقَتِ الأُمَّةُ عَلىَ إِمَامَتِهِمْ وَعَظِيْمِ شَأْنِهِمْ فِي الدِّيْنِ ، وَلِهَذَا سُمِّيَ الصَّدْرُ الأَوَّلُ بِالسَّلَفِ الصَّالِحِ. (الوجيز 1/15)

Secara istilah; kata ‘salaf’ jika disebutkan secara mutlak (tanpa embel-embel) oleh ulama aqidah, maka definisi mereka semuanya berkisar pada para sahabat; atau sahabat dan tabi’in; atau sahabat, tabi’in dan orang-orang yang mengikuti mereka dari generasi-generasi terbaik. Termasuk diantaranya para Imam yang terkenal dan diakui keimaman dan keutamaannya serta keteguhan mereka dalam mengikuti sunnah, menjauhi bid’ah, dan memperingatkan orang dari padanya. Demikian pula orang-orang (lainnya) yang telah disepakati akan keimaman dan jasa besar mereka dalam agama. Karenanya, generasi pertama dari umat ini dinamakan As Salafus Shalih (Al Wajiez hal 15). Continue reading

Ini Dalilnya! : Manakah Bid’ah dan Manakah Sunnah?

Ini Dalilnya!

Bahagian Pertama

Memahami Akar Permasalahan & Solusinya

 

Dalam kitabnya yang terkenal, Al Imam Al Hafizh Ibnu Rajab –rahimahullah– menjelaskan, bahwa para ulama berbeda pendapat mengenai hadits-hadits yang disebut sebagai poros Islam (madaarul Islaam). Diantara pendapat yang beliau nukil di sana ialah pendapat Imam Ahmad bin Hambal[1]), Imam Ishaq ibnu Rahawaih[2]), Imam Utsman bin Sa’id Ad Darimy[3]), dan Imam Abu ‘Ubeid Al Qaasim bin Sallaam[4])rahimahumullah-. Akan tetapi dari sekian pendapat yang beragam tadi, semuanya sepakat bahwa hadits ‘Aisyah berikut merupakan salah satu poros Islam:

قَالَ رَسُولُ اللَّهِ e : مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ فِيهِ فَهُوَ رَدٌّ. رواه البخاري ومسلم, وفي رواية لمسلم: مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ.

“Barangsiapa mengada-adakan perkara baru dalam urusan kami ini, yang bukan dari padanya, maka perbuatannya itu tertolak” (H.R. Bukhari no 2499 dan Muslim no 3242). Dalam riwayat Muslim lainnya (no 3243) disebutkan: “Barang siapa mengerjakan suatu amalan yang tidak berdasarkan urusan kami, maka amalan itu tertolak” (lihat hadits no 5 dalam Al Arba’in An Nawawiyyah).

Dalam penjelasannya, Ibnu Rajab –rahimahullah– mengatakan:

“Hadits ini adalah salah satu kaidah agung dalam Islam. Ia merupakan neraca untuk menimbang setiap amalan secara lahiriah, sebagaimana hadits ‘Innamal a’maalu binniyyah’ (=setiap amalan tergantung pada niatnya) adalah neraca batinnya. Jika setiap amal yang tidak diniatkan untuk mencari ridha Allah pelakunya tidak akan mendapat pahala, maka demikian pula setiap amal yang tidak berlandaskan aturan Allah dan Rasul-Nya, amal tersebut juga pasti tertolak.

Siapa pun yang mengada-adakan perkara baru dalam agama tanpa izin dari Allah dan Rasul-Nya, maka hal itu bukanlah bagian dari agama sedikit pun…” kemudian lanjut beliau: “Lafazh hadits ini menunjukkan bahwa setiap amalan yang tidak berlandaskan urusan Allah & Rasul-Nya, maka amalan tersebut tertolak. Sedangkan mafhum (makna yang tersirat) dari hadits ini ialah bahwa setiap amalan yang berlandaskan urusan Allah dan Rasul-Nya berarti tidak tertolak. Sedang yang dimaksud dengan ‘urusan kami’ dalam hadits ini ialah agama & syari’at-Nya. Continue reading

Ini Dalilnya (bantahan atas buku: ‘Mana Dalilnya 1′)

Ini Dalilnya (bantahan atas buku: ‘Mana Dalilnya 1′)

Bismillah berikut adalah risalah ilmiyyah ( Berseri ) yang ditulis oleh Ustadz Abu Hudzaifah Al Atsary, Lc yang saat ini sedang sibuk dalam thesis S2-nya di Universitas Islam Madinah,  Tulisan ini berisi sanggahan terhadap buku yang tersebar luas di masyarakat yang berjudul “Mana Dalilnya 1?“, buah karya Novel bin Muhammad al-Aydrus. Buku ini sangat berbahaya karena berisi berbagai macam kerancuan terutama dalam masalah aqidah. Buku sesat tersebut telah dicetak sebanyak 17 kali dalam waktu 1,5 tahun.  Tulisan ini beliau susun sejak empat tahun silam karena teramat bahaya buku sesat tersebut, namun belum ada penerbit yang mencetak buku ini. Adapun Tujuan  memuat tulisan ini agar bisa mengatasi syubhat (kerancuan) dari buku tersebut. Semoga bermanfaat ( dikutip ” muslim.or.id.”)

Mukaddimah

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Rabbul ‘alamien… kami menyanjung-Nya, mengharap pertolongan dari-Nya, dan memohon ampunan-Nya. Kami juga berlindung kepada-Nya dari kejahatan diri kami dan kejelekan amal perbuatan kami. Barangsiapa diberi petunjuk oleh Allah, maka tiada yang dapat menyesatkannya. Namun barangsiapa dibiarkan sesat oleh-Nya, maka tiada yang dapat memberinya petunjuk.

Aku bersaksi bahwa tiada ilah melainkan Allah semata, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad shallallahu alaihi wa sallam adalah hamba dan utusan-Nya…. penghulu sekalian manusia dan pemimpin orang-orang bertakwa… semoga shalawat dan salam senantiasa tercurahkan kepadanya, keluarganya, sahabatnya, dan setiap orang yang berpegang teguh dengan Sunnah-Nya…. aamien.

Amma ba’du,

Memang… saat ini kita hidup di zaman yang penuh fitnah[1]). Ada fitnah yang menyerang fisik, ada yang menyerang hati, dan ada pula yang menyerang pemikiran. Sebagian orang tenggelam dalam fitnah ini tanpa peduli… sebagian lagi tenggelam dengan sadar… dan sejumlah orang terjerumus ke dalamnya karena ikut-ikutan.

Orang yang hatinya hidup sampai-sampai heran terhadap apa yang dilihatnya. Wajah-wajah telah berubah, bukan lagi seperti yang dikenalnya dahulu… amal perbuatan tak lagi seperti yang diajarkan… dan akal fikiran pun tak lagi mendapat cahaya dari Allah ‘azza wa jalla.

Fitnah tersebut telah membaur dengan masyarakat dan demikian akrab dengan aktivitas mereka, hingga orang yang berada di atas kebenaran seakan terasing di tengah kaumnya.

Diantara fitnah yang paling berbahaya dan paling menyimpangkan manusia dari jalan yang lurus ialah; fitnah yang menghalangi perwujudan makna syahadatain; syahadat bahwa tiada ilah selain Allah, dan bahwa Muhammad saw adalah Rasul-Nya. Alangkah banyak orang yang menebarkan fitnah ini dengan sengaja, dan alangkah banyak orang yang termakan fitnah ini karena taklid buta (ikut-ikutan). Continue reading

Ketika Nasihat Dianggap Celaan

Ketika Nasihat Dianggap Celaan

Oleh Ustadz Abu Muhammad Idral Harits (Ma’had Darussalaf  Solo)

Sebenarnya, menyebut-nyebut seseorang dengan sesuatu yang tidak disukainya adalah haram. Yaitu jika semua itu hanya dilandasi keinginan untuk mencela, meremehkan, atau menjatuhkan.

Namun bila di dalam penyebutan tersebut terkandung manfaat atau maslahat yang besar, bagi kaum muslimin pada umumnya atau pada sebagian orang khususnya, maka penyebutan seperti ini bukanlah sesuatu yang haram, bahkan sangat dianjurkan. (Al-Farqu Bainan Nashihat wat Ta’yiir, Ibnu Rajab Al-Hanbali rahimahullah)
Asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah ketika mengomentari uraian Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan:

“Bahkan hal itu wajib, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mewajibkan untuk memberi keterangan, bukan sekedar sunnah (anjuran) semata.” (An-Naqdu Manhajus Syar’i)

Sebagian kaum muslimin menganggap jarh (kritikan) terhadap suatu pemikiran, buku atau individu tertentu serta mentahdzirnya agar dijauhi dan ditinggalkan orang adalah perbuatan dzalim, tidak adil, dan tidak amanah. Demikian kata sebagian mereka.
Dengan alasan tersebut, ketika ada tokoh dari ahli bid’ah yang dibeberkan kebid’ahannya, kesesatan pemikirannya baik yang diucapkan maupun yang dituangkan dalam tulisan, mereka anggap orang yang menjelaskan kesesatan dan penyimpangan tersebut sebagai penghujat, zalim, mulutnya kotor dan sebagainya. Continue reading