Aqidah Yang Shahih Dan Yang Bathil

Aqidah Yang Shahih Dan Yang Bathil


Aqidah Islamiyah ialah iman yang bersifat pasti kepada Allah baik dalam hal uluhiyah, rububiyah, asma’ maupun sifat-Nya, kepada para malaikat, rasul-rasul, hari akhir, taqdir   baik atau buruk dan kepada segenap apa yang diberitakan oleh nushus shahihah  (nash-nash yang sahih) berupa perkara-perkara ushuluddin (pokok-pokok din), serta segala pemberitaan mengenai hal-hal ghaib. Juga iman kepada apa yang menjadi ijma’ (kesepakatan) As-Salafu Ash-Shalih, serta menyerah total kepada Allah baik dalam masalah hukum; perintah, takdir, maupun syari’at-Nya dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan taat, ittiba’ dan bertahkim kepada beliau.

Pengertian Aqidah

1.  Menurut Bahasa:

•                 Berasal dari Al-‘aqdu artinya ikatan yang kuat. Bisa pula berarti  kepercayaan yang kokoh.

•           Ikatan janji, terkadang juga disebut aqdun.

•                 Sesuatu yang bisa membuat hatui seseorang menjadi terikat kuat dan pasti padanya,  disebut aqidah.

2.  Menurut Istilah Umum:

Ialah  keyakinan dan ketetapan yang bersifat pasti tanpa ada keraguan sedikitpun bagi  pelakunya. Aqidah dalam pengertian umum ini berlaku untuk keyakinan terhadap  al-haq maupun terhadap al-batil.

3. Pengertian Aqidah Islamiyah:

Ialah: iman yang bersifat pasti kepada Allah baik dalam hal uluhiyah, rububiyah,  asma’ maupun sifat-Nya, kepada para malaikat, rasul-rasul, hari akhir, taqdir  baik atau buruk dan kepada segenap apa yang diberitakan oleh nushus shahihah

(nash-nash yang sahih) berupa perkara-perkara ushuluddin (pokok-pokok din), serta segala pemberitaan mengenai hal-hal ghaib. Juga iman kepada apa  yang menjadi ijma’ (kesepakatan) As-Salafu Ash-Shalih, serta menyerah total kepada Allah baik dalam masalah hukum; perintah, takdir, maupun syari’at-Nya  dan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan taat, ittiba’ dan bertahkim kepada beliau.

Pokok Bahasan Ilmu Aqidah

Aqidah jika ditilik kedudukannya sebagai ilmu menurut mahfum Ahlu Sunnah mencakup  bahasan: at-tauhid (rububiyah, uluhiyah, asma’ dan sifat), al-iman, al-islam,  perkara ghaibiyat, nubuwat, taqdir, al-akhbar (berita-bertita), landasan-landasan  hukum qath’i dan semua permasalahan ushuluddin serta aqidah.

Istilah Lain Ilmu Aqidah

Ilmu  aqidah mempunyai beberapa istilah yang penyebutannya, antara Ahlu Sunnah dengan  firqah-firqah lainnya berbeda. Beberapa istilah ilmu aqidah menurut ahlu sunnah,  yakni :

1.         Al-‘Aqidah(al-I’tiqad dan al-‘aqaid) misalnya,  istilah aqidah salaf atau aqidah ahlu atsar dan lain-lain.

2.         At-Tauhid, sebab pembahasannya berkisar mengenai tauhidullah baik uluhiyah, rububiyah maupun al-asma’ was-sifat.

3.         As-Sunnah, as-sunnah ialah ath-thariqah: jalan atau cara. Aqidah salaf disebut as-sunnah, dikarenakan ittiba’-nya  mereka (kaum salaf) kepada cara-cara ar-rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam memahami aqidah.

4.         Ushuluddin, mencakup rukun iman, rukun Islam, masalah-masalah qath’iyah (pasti) dan apa-apa yang telah disepakati oleh para imam.

5.         Al-Fiqhul Akbar, merupakan kebalikan dari Al-Fiqhul Ashgar (hukum-hukum ijtihadiyah).

6.         Asy-Syari’ah, artinya apa yang disyari’atkan oleh Allah dan Rasul-Nya, berupa sunnah-sunnah petunjuk. Dan yang paling pokok adalah ushuluddin.

7.         Al-Iman, mencakup semua permasalahan I’tiqadiyah.

Itulah  beberapa istilah paling masyhur bagi Ahli Sunnah tentang ilmu aqidah. Terkadang dalam istilah tersebut ada yang mempunyai kesamaan istilah dengan firqah-firqah lain, seperti Asy’ariyah.

Sedangkan  beberapa istilah ilmu aqidah menurut firqah-firqah lain, yakni:

1.         Ilmu kalam, istilahnya kaum mutakallimin seperti, Al-Mu’tazilah dan Asy’ariyah.

2.         Filsafat, sebutan bagi para filosof dan pengagumnya.

3.         Tasawuf, terkenal bagi sebagian kalangan kaum filosof, sufi, orientalis dan sebagainya. Istilah ini adalah istilah bid’ah

4.         Ilahiyat (Teologi), dipakai oleh Ahlul Kalam, para filosof, orientalis dan pengikutnya. Intinya adalah filsafat dan logika ketuhanan.

5.         Metafisika (alam dibalik kenyataan), istilah yang hampir identik dengan istilah ilahiyat, digunakan oleh kaum filosof dan sebangsanya.

Semua  istilah ini adalah istilah yang batil, dan tidak dapat diterapkan bagi ilmu  aqidah. Disamping itu orang sering menyebut bahwa landasan atau kaidah berfikir  yang diyakini dan diimani dinamakan aqidah, walaupun (penyebutan tersebut) batil  atau tidak berlandaskan pada dalil ‘aqli maupunnaqli.

Beberapa  manhaj yang ditempuh untuk menetapkan masalah ‘Aqaid

1. Manhaj yang berpegang pada akal dan mendustakan para rasul.

Yakni  orang-orang yang menolak untuk ‘ ittiba’ kepada para rasul yang telah datang membawa berita benar. Sebaliknya mereka mencoba mengenal hakekat yang ada dibalik alam semesta ini dengan akal fikirannya semata. Sebab mereka berkeyakinan bahwa  belajar dari para rasul berarti kedangkalan dan tidak kreatif. Jadi mereka akan selalu menolak dalil-dalil yang jelas datangnya dari wahyu.

2. Manhaj  para filosof dan mutakallimin

Suatu manhaj yang masih mengakui ajaran para rasul Allah, namun tidak bisa  melepas ketergantungannya kepada hawa nafsu dalam memahami hal-hal yang berada di luar jangkauan akal fikirannya, seperti persoalan yang menyangkut masalah-masalah ghaib.

Diantara  kelompok nomor dua ini adalah orang-orang yang menolak berhujjah, dalam masalah aqidah, dengan Al-Qur’an dan hadits-hadits mutawattir yang dilalahnya tidak qath’i. Sedangkan terhadap hadits-hadits ahad mereka menolak sama   sekali dan tidak memperbolehkannya dijadikan hujjah, baik dalam masalah   aqidah maupun dalam masalah hukum. Yang termasuk kelompok ini, yaitu Mu’tazilah  dan Khawarij.

3. Manhaj kaum sufi

Banyak  di kalangan kaum sufi yang beranggapan bahwa ada cara khusus (thariqah) untuk mengenal dan mengungkap rahasia tuhan, rahasia alam ghaib dan rahasia  hukum.

Cara khusus tersebut dinamakan Thariqul-Kasyfi (cara mengungkap  rahasia). Mereka memiliki model periwayatan seperti, “Telah bercerita hatiku dari Tuhanku…” Menurut mereka, itulah cara yang paling tepat, sebab cara-cara lain yang bersumber dari ulama adalah periwayatan fulan dari fulan, dan dari  si fulan (lainnya) dari Rasulullah dari Jibril. Adapun cara (thariqah) mereka (kaum sufi) adalah melalui pembicaraan hati yang berasal dari tuhannya. Mereka lupa bahwa din yang dibawa oleh Rasulallah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berasal dari Allah, adalah cara (thariqah) satu-satunya yang telah diridhai Allah buat kita. Sedang thariqah mereka adalah jalan  yang tidak bisa dijadikan hujjah, tidak bisa dijadikan landasan bagi aqidah maupun hukum dan tidak berdasar sama sekali. Sementara itu, setan telah  banyak memasukkan unsur kebatilan melalui cara ini kepada para pengikutnya.

4. Manhaj as-salafush-shalih

Siapa saja yang memperhatikan setiap pernyataan As-salafush-Shalih pasti mengetahui bahwa mereka telah menetapkan permasalahan aqa’id berdasarkan nash-nash Al-Qur’an dan Al-Hadits. Mereka tidak membedakan antara hadits-hadits mutawatir dengan hadits-hadits ahad (yang shahih/tsabit) sebagai hujjah, baik dalam persoalan aqidah maupun persoalan ahkam (hukum).

Tiada  satu pun dari kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in yang  menyeleweng dari ketetapan  itu. Demikian pula imam-imam pembawa petunjuk,  seperti imam yang empat. Bahkan generasi As-Salafush-Shalih beserta seluruh   pengikutnya pada setiap zaman selalu mengecam keras kepada setiap orang yang  ingin meninggalkan hadits-hadits dan nash-nash untuk kemudian berpijak  mendahulukan ra’yu.

5. Manhaj orang yang menolak hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah

Dasar  pijak mereka sebenarnya bersumber dari dasar pijak kaum Khawarij dan  Mu’tazilahyang menolak hadits ahad sebagai hujjah, baik  bagi masalah aqidah maupun ahkam. Golongan kelima ini mengatakan, “ Hadits-hadits  ahad tidak memberi faedah keyakinan (kepastian), sedangakan masalah aqidah mestilah dibangun berdasarkan keyakinan (harus sesuatu yang pasti, red). Dan  Al-Qur’an sendiri mencela orang yang mengikuti zhan (sangkaan) serta mencela orang yang bersandar pada dalil yang tidak memberikan faedah ilmiah. “Mereka  juga membawakan ayat :

“Dan  janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati semuanya itu akan dimintai pertanggungjawabannya.” (Al-Isra’:36)

Golongan  ini tidak segan-segan melakukan penipuan besar-besaran dengan mengatakan bahwa  manhaj yang mereka tempuh adalah manhaj jumhur ahli-ilmi, seperti dinyatakan oleh Badrani Abu Al-‘Anain dan Syaikh Mahmud Syaltut.

Bahkan sebagian mereka mengklaim bahwa hal itu telah disepakati oleh seluruh ahli-ilmi. Padahal kenyataanya, pernyataan para imam justru sebaliknya. Keyakinan kelompok ini, bahwa hadits ahad tidak bisa memberikan apa-apa melainkan zhan (prasangka) belaka, hal itu telah menjadi aqidah bagi mereka. Padahal untuk  menetapkannya sebagai aqidah mestinya memerlukan dalil yang qath’i. Sebab,  masalah aqidah haruslah dibangun berdasarkan “Al-yakin”. Tetapi, nyatanya qath’i itu tidak kunjung ada kecuali hawa nafsu dan ra’yu mereka.

Kedudukan sunnah Nabawiyah bagi aqidah

Telah  menjadi kesepakatan seluruh umat Islam generasi pertama, bahwa Sunnah Nabawiyah  merupakan sumber rujukan kedua dan terakhir bagi syari’at Islam yang meliputi semua aspek kehidupan, termasuk diantaranya perkara-perkara ghaibiyah,   ‘i’tiqadiyah (aqidah), hukum amaliyah,siyasah (politik)  ataupun tarbiyah (pendidikan).

Oleh karena itu, tidak diperkenankan sedikit pun menyelisihi sunnah tersebut dalam rangka mengikuti ra’yu(pendapat), ijtihad atau qiyas apapun. Sebagaimana dinyatakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah dalam akhir kitabnya Ar-Risalah, bahwa : “Tidaklah halal qiyas, adapun khabar ada” atau seperti ungkapan yang terkenal di kalangan ulama ushul generasi  terakhir yang mengatakan : “Jika terdapat atsar, maka batalah nadhar  (mencari-cari tafsirnya, pen).

Al-Qur’an  dan sunnah juga secara tegas memerintahkan kembali kepada keduanya dalam  berbagai hal. Dengan demikian, Sunnah Nabawiyah termasuk hadits ahad,  merupakan hujjah bagi masalah ‘aqaid maupun ahkam

Beberapa  dalil wajibnya berpegang kepada hadits ahad dalam aqidah

Lebih  dari dua puluh dalil, seperti disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam kitabnya Ash-Shawa’iqul-Mursalah, semuanya menunjukkan bahwa hadits-hadits ahad yang shahih berfaedah  (bisa dugunakan, red) sebagai dasar keyakinan.

Contoh dalil :

1.         Ketika ada seorang sahabat datang kepada kaum muslimin yang sedang shalat Subuh di masjid Quba dengan membawa berita bahwa qiblat telah dipindahkan ke Ka’bah, maka mereka menerima berita itu dan beralih qiblat. Ini menunjukkan bahwa dari sahabat tadi berfungsi sebagai ilmu yang mesti diterima. Peristiwa pemberitaan satu orang seperti di atas banyak dialami oleh para sahabat radhiallahu’anhum.Sebagaimana diutusnya Mu’adz bin Jabal dalam sebuah riwayat yang shahih (Al-Bukhari dan Muslim) untuk berda’wah ke Yaman.

2.         Firman Allah Ta’ala:“Hai orang-orang yang beriman jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita  maka periksalah dengan teliti.” (Al-Hujurat :6) Dalam salah satu qira’ah kalimat fatabayyanu dibaca fatatsabbatu (carilah kemantapan), ini bararti bahwa seorang yang adil (bukan fisik), jika ia membawa berita, maka beritanya merupakan hujjah dan tidak wajib mencari kemantapan kebenaran  beritannya sebab bisa diambil langsung.

3.         Firman Allah Ta’ala:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.”  (Al-Israa’ : 36)

 

Telah dimaklumi bahwa kaum muslimin sejak zaman sahabat senantiasa mengikuti berita-berita ahad, mengamalkannya dan menetapkan dengannya perkara ghaib serta hakekat I’tiqadiyah. Seperti, berita tentang awal mula diciptakannya makhluk dan tanda-tanda hari  kiamat. Bahkan dengan hadits-hadits ahad ini mereka menetapkan sifat-sifat Allah Ta’ala. Seandainya berita ahad ini tidak memberikan faedah ilmiah dan tidak menetapkan bidang aqidah, berarti para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in serta  imam-imam Islam semuanya telah mengikuti sesuatu yang tidak berdasarkan kepada ilmu. Dengan kata lain, firman Allah dalam ayat Al-Isra’: 36 tersebut dan ayat-ayat  lainnya tidak bisa dijadikan dalil untuk menolak hadits ahad sebagai hujjah  ilmiah.

Jadi  tidak dijadikannya hadits ahad sebagai hujjah dalam masalah aqidah adalah termasuk bid’ah.

Secara  umum, dalil-dalil dari Al-Qur’an, As-Sunnah, tindakan-tindakan sahabat dan pernyataan  para ulama adalah dalil yang qath’I bagi wajibnya menjadikan hadits ahad sebagai hujjah dalam setiap persoalan syari’ah, baik mengenai persoalan i’tiqodiyah  maupun permasalahan amaliyah. Dan pemisahan antara keduanya merupakan bid’ah yang tidak pernah dikenai oleh salafu shalih.

Oleh karenanya, Al-‘alamah Ibnu Qoyyim rahimahullah mengatakan dalam I’lamul Muwaqi’in  (2:24), bahwa pembedaan tersebut batil berdasarkan ijma’ umat Islam. Karena  sesungguhnya hadits ahad tetap harus dijadikan hujjah bagi masalah perberitaan  ilmiah (yakni, aqidah), sebagaimana ia juga merupakan hujjah bagi masalah amaliah,  terutama karena hukum-hukum amaliah mencakup pemberitaan dari Allah bahwa Dia  telah menyari’atkan suatu ketetapan, telah mewajibkannya dan telah meridhainya  sebagai din.

Maka syari’at dan agamanya kembali kepada asma’ dan sifat-Nya. Para sahabat, tabi’in, tabi’untuk tabi’in, ahlul-hadits dan ahlus-sunnah, terus berhujjah dengan khabar-khabar ahad ini untuk masalah sifat-sifat, taqdir, asma’  dan ahkam. Tidak pernah terbetik suatu berita pun dari salah seorang diantara   mereka yang membolehkan berthujjah dengan hadits ahad hanya dalam masalah ahkam (hukum), tidak juga dalam masalah berita-berita tentang asma’ dan sifat Allah.

Begitulah  pemahaman manusia tentang aqidah. Ada aqidah Islamiyah yang sahih, yang dianut  oleh golongan ahlu sunnah wal-jama’ah, ada pula aqidah dhalalah (sesat) dengan  berbagai perbedaannya-aqidah ini dianut oleh ahlu firqah-, dan ada pula aqidah  kafiriah yang dianut oleh kaum kuffar dengan berbagai millahnya. (Wallahu a’lam).

Sumber : Dipublikasi ulang dari http://www.salafyoon.net/

Leave a comment