Kerancuan kaidah dalam legalitas diperbolehkannya perayaan Maulid Nabi Shallallahu alaihi wa salam

Kerancuan kaidah dalam legalitas diperbolehkannya perayaan Maulid Nabi Shallallahu alaihi wa salam

tahrifun-nushush1

Ada sebuah tulisan dari pak Habib tentang tanggapan beliau atau tepatnya bantahan beliau kepada orang yang anti Maulid Nabi dengan judul “MERAYAKAN MAULID NABI, SIAPA BILANG SESAT?? Didalam tulisan mukadimah beliau membawakan :
Kutipan : “ Dalam syari’at, kita ada qaidah; Laa Tahriim illaa bi Daliil; Tidak boleh mengharamkan sesuatu kecuali memang ada dalil yang mengharamkannya. Contohnya, selama tidak ada dalil yang mengharamkan penggunaan handphone, maka tidak boleh seseorang semena-mena mengharamkan handphone, kecuali memang ada ‘kotoran’ di dalam handphone tersebut yang diharamkan syari’at.

Nah.. Coba tunjukkan dalil yang mengharamkan perayaan Maulid Nabi Muhammad saw. Adakah?

# Jawab : Bagi sebagian orang memang penjelasan diatas seakan-akan benar, tetapi ada beberapa kerancuan bila bagi orang yang sudah atau sedikit mengetahui atau belajar tentang kaidah diatas. Kaidah Laa tahrim illaa bi Daliil adalah kaidah fiqih yang biasanya digunakan pada permasalahan keduniaan/adat/muamalah yang hukum asalnya mubah kecuali ada dalil yang mengharamkannya dan bukan ibadah. Adapun untuk Ibadah tidak bias digunakan kaidah diatas, karena akan kacau balau.

Contoh : Kalau mengikuti kaidah “ Laa Tahrim illaa bi daliil “ maka boleh dong saya mengatakan “ Bolehnya seorang muslim sholat shubuh 5 Rokaat “ lho koq bisa….ya iya dong…kan tidak ada dalil yang melarang tentang amaliah tersebut, coba carikan dalil baik dari Alqur’an dan Hadist Nabi Shollallahu alaihi wa sallam yang shahih yang mengatakan larangan tersebut??

…sampai tua kita tidak akan menemukan larangan tersebut secara khusus ( sama dengan kaidah antum tentang Maulid Nabi ),

adapun permasalahan Ibadah atau hukum ibadah adalah menggunakan kaidah ilmiah yang benar adalah seperti yang dikatakan oleh Al-Alamah Ibnul Qayyim dalam kitabnya yang menakjubkan, I’lam al-Muwaqqi’in (I/344) :

“Dan telah maklum bahwa tidak ada yang haram melainkan sesuatu yang diharamkan Allah dan RasulNya, dan tidak dosa melainkan apa yang dinyatakan dosa oleh Allah dan RasulNya bagi orang yang melakukannya. Sebagaimana tidak ada yang wajib kecuali, apa yang diwajibkan Allah, dan tidak ada yang haram melainkan yang diharamkan Allah, dan juga tidak ada agama kecuali yang telah disyari’atkan Allah. Maka hukum asal dalam ibadah adalah batil hingga terdapat dalil yang memerintahkan. Sedang hukum asal dalam akad dan muamalah adalah shahih  hingga terdapat dalil yang melarang.

Adapun perbedaan keduanya adalah, bahwa Allah tidak disembah kecuali dengan apa yang telah disyariatkanNya melalui lisan para rasulNya. Sebab ibadah adalah hak Allah atas hamba-hambaNya dan hak yang Dia paling berhak menentukan, meridhai dan mensyari’atkannya”

Pada dasarnya kita tidak boleh mengamalkan atau mensyariatkan amal ibadah kecuali ada dalilnya dari Al Qur’an dan As Sunnah yang mensyariatkannya . Barang siapa yang mensyariatkan sebuah ibadah tanpa dalil maka dia telah membuat perkara Bid’ah ( perkara-perkara baru yang tidak ada contohnya ).

Hal tersebut sebagaimana kaidah yang telah disebutkan dalam Al qur’anAllah azza wa Jalla berfirman ” Apakah mereka mempunyai sekutu yang mensyariatkan bagi mereka agama yang tidak diizinkan oleh Allah ( Qs. Asy- Syuro (42) : 21 ) . Allahul Musta’an.

 

Leave a comment