Suatu ketika di sebuah majelis, ilmu dan kebodohan saling bertemu. Dan terjadilah dialog diantara keduanya.
Majelis I
Maka berdirilah ilmu sambil bertopang pada tongkatnya. Kondisinya tampak tua, berumur dan lemah. Kemudian dia membaca basmalah, hamdalah, hasbalah dan hawqolah serta bersholawat dan salam atas sebaik-baik orang yang berilmu dan mengajarkan ilmu. Lalu ia berkata,
“Hai kebodohan! Engkau tidak pantas berbicara kepadaku. Dan tidak mudah bagimu untuk berdebat denganku. Wahai kematian orang-orang yang hidup, wahai sedikit rasa malu. Wahai penyebab pailitnya iblis, wahai perhiasan setiap orang yang hina dan rendah. Bagaimana mungkin engkau kan menandingiku. Sendangkan ilmu itu adalah sifat (Allah) Al-Baari, warisan para nabi. Dan tidak terhitung ayat serta kabar berita tentang keutamaannya. Cukup bagimu hai kebodohan, satu ayat ini jika engkau termasuk orang-orang yang paham (Apakah sama orang-orang yang mengetahui dan orang-orang yang tidak mengetahui?)[1].
Dan di dalam As-Sunnah “Orang yang berilmu, orang yang mempelajari ilmu dan ilmu di dalam surga”.
Engkau hai kebodohan, sedikitmu adalah ketiadaan. Banyakmu ada tapi tidak kokoh. Dan diantara pengetahuanku adalah ilmu tafsir dan ilmu hadits yang selalu di agungkan sejak dulu hingga sekarang. Ilmu tauhid yang merupakan kunci pintu surga. Kepadakulah kembalinya empat pilar kemuliaan manusia; ilmu agama, ilmu badan, ilmu pikiran dan ilmu lisan.
Cukuplah bagi kebodohan itu buruk nama dan bentuknya. Setiap nama itu sesuai dengan yang menyandangnya. Berjalan tak tentu arah, meraba-raba seperti orang buta. Memahami sesuatu tidak sebagaimana mestinya. Dan semua keburukan di dunia ini dinisbatkan kepadanya.
Dengan ilmu diraih kedudukan yang tinggi dan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Ilmu bertambah dengan diinfakkan. Dimuliakan dalam semua agama. Dengannya tegak tiang-tiang agama. Anak-anaknya adalah orang-orang mulia, dan menjadi pemimpin penduduk dunia dan akhirat. mengulang-ulang ilmu bersama mereka menjadikannya bertambah, duduk di majelis mereka adalah ibadah. Sebaik-baik teman dalam kesendirian, penolong dalam kesulitan. Segala sesuatu hingga ikan di dasar samudera memohon ampunan untuk ahlinya.
Ilmu itu dicintai secara fitrah manusia. Diagungkan dalam adat manusia maupun dalam syari’at Allah. Tidak ada cacat padanya, ahlinya tetap kekal sekalipun jasad mereka telah rusak dalam kubur.
Orang yang berilmu tetap hidup kekal setelah matinya
Padahal tulang-belulangnya telah hancur di bawah tanah.
Orang bodoh adalah mayat sekalipun berjalan di atas tanah
Dikira hidup padahal dia mati.
Cukuplah bagi ilmu sebuah kemulian bahwa setiap orang mengaku-ngakuinya. Dan setiap yang memiliki fithrah yang bersih berusaha mendapatkannya. Bahwasanya ia di dapatkan dengan tekad yang tinggi bukan dengan sifat malas. Tidak diraih dengan harta benda. Tidak diwariskan dengan nasab. Dalam ilmu sama kedudukan orang pasar dengan raja, kaya dengan miskin, yang merdeka dengan budak. Diraih dengan perjuangan dan kesungguhan bukan dengan bergantung kepada ayah dan kakek.
Adapun engkau hai kebodohan! Kekejian apalagi yang melebihimu. Kerugian dan kesia-siaan bagi kehidupan. Anak-anakmu tak obahnya hewan sekalipun pakai sorban. Hewan ternak sekalipun makan yang enak-enak. Mayoritasnya adalah orang-orang yang rendah dan hina sekalipun mengenakan pakaian yang mewah dan mencicipi makanan aneka rasa. Orang-orang yang jahat walaupun mahir beretorika.
Wahai orang yang kehilangan kemuliaan. Wahai kunci pintu berlebihan dan melampui batas. Hai ‘aib generasi kini atas para pendahulu (salaf). Wahai penghancur rumah. Hai hujjah yang lebih lemah dari sarang laba-laba. Hai perusak ibadah. Hai buruk kelakuan. Hai sedikit faedah. Hai yang kesaksiannya tidak diterima. Hai pembuang-buang harta. Hai segala cacat dan cela. Raja propaganda yang mendatangkan kebingungan dan keraguan.
Dengan lidah apalagi aku akan menyebutkan ‘aib-‘aibmu? Dengan bahasa apalagi aku akan menggambarkan keburukan-keburukanmu? Apakah ada kebutaan yang melebihimu? Atau kehinaan yang lebih rendah darimu? Bukankah engkau sifat setiap orang yang jahat? Dan bekal para pencuri dan perampok? Jika perniagaanmu beruntung maka itu demi Allah adalah pasar orang-orang fasik.
Kepadamulah menisbatkan diri semua penjudi, pemabok, penyanyi, penari, orang-orang yang angkuh lagi curang, para ahli nujum, penyihir, dukun dan orang-orang yang vulgar.
Jika engkau bangga dengan pakaian dan makananmu, maka itu hanya pengisi tong sampah. Semua yang aku sebutkan tentang sifatmu sejatinya adalah cocok untuk syaithon, dan dia tidak punya kekuasaan atas hamba-hamba Allah yang ikhlas.
Jika engkau cela diriku dengan kemiskinan, maka itu adalah kebodohan. Karena kemiskinan adalah symbol orang-orang sholeh pilihan dan perhiasan hamba-hamba Allah yang baik. Duduklah hai orang yang jauh dari kemuliaan. Sesungguhnya engkau adalah orang yang berpakaian tetapi telanjang. Teman yang menghilangkan kecerdasan, sumber segala penyakit. Jika engkau berkhidmat kepada tokoh-tokoh dunia, maka aku berkhidmat kepada Dzat yang maha kekal. Jika kelezatanmu hanya sebatas zhohir, maka (ilmu) makanan ruh adalah roh segala makna.
Anak-anakku adalah orang yang beruntung, manusia-manusia pilihan. Lentera para hamba, penerang bagi bangsa. Bagaimana mungkin engkau dapatkan kebanggaan seperti yang kumiliki? Dan dari mana engkau akan menandingiku dalam baiknya asal-usulku serta mulianya sumberku?
Diantara anak-anakku adalah para ahli tafsir, penghapal Al-Qur’an dan hadits, penceramah dan pemberi nasehat, ahli fiqih dan pujangga, ahli sejarah dan para dokter. Ahli berhitung, para sastrawan, penulis, astronom, ahli ilmu peperangan dan banyak lagi yang hampir saja aku tidak bsia menghitungnya.
Berapa banyak matahari dan rembulanku? Kebanggaan, cahaya dan bintang gemintang? Aku adalah bintang yang membakar syaithon-syaithon kebodohan. Berapa banyak hujjahku dan bagaimana terang langkahku? Tidakkah engkau melihat kekuatan genggamanku?
Tidakkah engkau takut hai kebodohan kekuatan pembela-pembelaku? tidakkah engkau takut terhadap hukum-hukum yang disimpulkan para ahli fiqihku, bahwa mereka akan menfatwakan sesuatu yang pahit atasmu? Tidakkah engkau cemas dan khawatir terhadap celaan para periwayat beritaku, dan sayatan ahli bedah dokter-dokterku? Tidakkah engkau takut lidah para penyair dan pujanggaku akan merobek-robek lidahmu?
Jangan engkau hanya melihat keterasinganku diakhir zaman. Semua itu hanyalah karena terlalu banyak kerusakan. Memang diakhir zaman ini kebenaran banyak diasingkan, kebodohan dipermudah dan orang-orang munafik mendapat tempat.
Dulu kekuasaanku tersebar luas. Benderaku berkibar-kibar. Tidakkah engkau melihat kemuliaan dan kejayaanku di masa Daulah Umawiyyah, di negeri Syam, Yaman dan Hijaz? Dan kedudukan yang tinggi yang kudapat di Baghdad dan Khurosan di masa Abbasiyyah? Begitu juga di masa Daulah Turkiyah manusia berbondong-bondong menyongsongku. Khususnya di tiga mesjid yang tidak boleh bersusah payah melakukan perjalanan untuk mengharapkan berkah ibadah kecual padanya (Masjidul Haram, Masjid Nabawy dan Masjidul Aqsho).
Adapun sekarang, semua itu telah berlalu. Hari kiamat telah dekat. Tinggallah aku harus ridho dan sabar terhadap pahitnya qodho’. Sesuatu itu apabila telah sampai pada puncaknya maka ia akan berangsur berakhir. (bersambung)
[1] Az-Zumar : 9.
Sumber : http://www.smpit-albayyinah.com
Leave a Reply