Sudah Saatnya Menyadari Hakekat Ajaran Sufi
(Oleh: Ustadz Abul Hasan Abdullah Taslim MA)
PENDAHULUAN
Istilah “sufi” atau “tasawwuf” tentu sangat dikenal di kalangan kita, terlebih lagi di kalangan masyarakat kebanyakan. Istilah ini sangat diagungkan dan selalu diidentikkan dengan kewalian, kezuhudan dan kesucian jiwa. Bahkan mayoritas masyarakat beranggapan bahwa seseorang tidak akan bisa mencapai hakikat takwa tanpa melalui jalan tasawwuf. Opini ini diperkuat dengan melihat penampilan lahir yang selalu ditampakkan oleh orang-orang yang mengaku sebagai ahli tasawwuf, berupa pakaian lusuh dan usang, biji-bijian tasbih yang selalu melekat di tangan, dan bibir yang senantiasa komat-kamit melafazhkan dzikir. Semua ini semakin menambah keyakinan bahwasanya merekalah orang-orang yang benar-benar telah mencapai derajat wali (kekasih) Allâh Ta’ala.
Sebelum membahas tentang hakikat tasawwuf yang sebenarnya, kami ingin mengingatkan kembali bahwa penilaian benar atau tidaknya suatu pemahaman bukan hanya dilihat dari pengakuan lisan atau penampilan lahir semata. Barometer sesuai tidaknya pemahaman tersebut, ialah menakarnya dengan Al-Qur‘ân dan Sunnah menurut yang dipahami oleh Salafush-Shalih.
Imam al-Barbahâri rahimahullâh mengikrarkan prinsip ini dalam kitabnya, Syarh as-Sunnah dengan ucapan beliau:
“Perhatikan dan cermatilah –semoga Allâh Ta’ala merahmatimu– semua orang yang menyampaikan satu ucapan/pemahaman di hadapanmu, maka jangan sekali-kali engkau terburu-buru untuk membenarkan dan mengikuti ucapan/pemahaman tersebut, sampai engkau tanyakan dan meneliti kembali, apakah ucapan/pemahaman tersebut pernah disampaikan oleh para sahabat Rasulullah radhiyallâhu’anhum atau pernah disampaikan oleh ulama Ahlus-Sunnah? Kalau engkau mendapatkan ucapan/pemahaman tersebut sesuai dengan pemahaman mereka, (maka) berpegang teguhlah engkau dengan ucapan/pemahaman tersebut, dan janganlah (sekali-kali) engkau meninggalkannya dan memilih pemahaman lain, sehingga (akibatnya) engkau akan terjerumus ke dalam neraka!”[1]
Setelah prinsip di atas jelas, sekarang kami akan membahas tentang hakikat tasawwuf, agar kita bisa melihat dan menilai dengan jelas benar atau tidaknya ajaran tasawwuf ini.
LAHIRNYA AJARAN TASHAWWUF
Tasawwuf adalah istilah yang sama sekali tidak dikenal pada zaman para sahabat radhiyallâhu’anhum, bahkan tidak dikenal pada zaman tiga generasi yang utama (generasi Sahabat, Tâbi’in dan Tabi’it Tâbi’in). Ajaran ini baru muncul sesudah masa tiga generasi ini.[2]
Pertama kali muncul di kota Bashrah, Irak, yang dimulai dengan timbulnya sikap berlebih-lebihan dalam zuhud dan ibadah yang tidak terdapat di kota-kota (Islam) lainnya.[3]
Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullâh berkata dalam kitab at-Tashawwuf, al-Mansya’ wa al-Mashdar (hlm. 28):
“Ketika kita mengamati lebih dalam ajaran-ajaran tasawwuf klasik maupun modern, dan ucapan-ucapan mereka yang dinukil dan diriwayatkan dalam kitab-kitab tasawwuf yang dulu maupun sekarang, kita akan melihat suatu perbedaan yang sangat jelas antara ajaran tersebut dengan ajaran Al-Qur`ân dan Sunnah. Dan sama sekali, tidak pernah kita dapati bibit dan cikal bakal ajaran tasawwuf ini dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad Shallallâhu ‘Alaihi Wasallam dan para sahabat beliau radhiyallâhu’anhum yang mulia, orang-orang yang terbaik dan pilihan dari hamba-hamba Allâh Ta’ala. Justru sebaliknya, kita dapati ajaran tasawwuf ini diambil dan dipungut dari kependetaan model Nashrani, dari kebrahmanaan model agama Hindu, peribadatan model Yahudi, dan zuhud model agama Budha”.[4]
Dari keterangan yang kami nukilkan di atas, jelaslah bahwa tasawwuf adalah ajaran yang menyusup ke dalam Islam. Hal ini nampak jelas pada amalan-amalan yang dilakukan oleh orang-orang ahli tasawwuf, amalan-amalan ibadah yang asing dan jauh dari petunjuk Islam.
PRINSIP-PRINSIP DASAR AJARAN TASHAWWUF
YANG MENYIMPANG DARI PETUNJUK AL-QUR‘ÂN DAN SUNNAH[5]
Orang-orang ahli tashawwuf –khususnya yang ada pada zaman sekarang– mempunyai prinsip dasar dan metode khusus dalam memahami dan menjalankan agama ini, yang sangat bertentangan dengan prinsip dan metode Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah, dan menyimpang sangat jauh dari Al- Qur‘ân dan Sunnah, yang dapat disimpulkan sebagai berikut:
1). Mereka membatasi ibadah hanya pada aspek al-mahabbah (kecintaan) saja dengan mengenyampingkan aspek-aspek lainnya, seperti aspek al-khauf (rasa takut) dan ar-raja` (pengharapan), sebagaimana terlihat dalam ucapan beberapa orang ahli tashawwuf: “Aku beribadah kepada Allah Azza wa Jalla, bukan karena aku mengharapkan masuk surga, dan juga bukan karena takut masuk neraka”. (!?)
Memang benar, aspek al-mahabbah merupakan landasan ibadah. Akan tetapi, ibadah itu tidak hanya terbatas pada aspek al-mahabbah saja, seperti persepsi orang-orang ahli tashawwuf. Karena, ibadah itu memiliki banyak jenis dan aspek yang melandasinya selain aspek al-mahabbah, misalnya aspek al-khauf, ar-raja`, adz-dzull (penghinaan diri), al-khudhû` (ketundukkan), do’a, dan aspek-aspek lainnya.
Salah seorang ulama Salaf berkata:
“Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan semata, maka dia adalah seorang zindiq (kafir). Barang siapa yang beribadah kepada Allah l dengan pengharapan semata, maka dia adalah seorang Murji’ah. Barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan ketakutan semata, maka dia adalah seorang Haruuriyyah (Khawarij). Dan barang siapa yang beribadah kepada Allah Azza wa Jalla dengan kecintaan, ketakutan dan pengharapan, maka dialah seorang mukmin sejati dan muwah-hid (orang yang bertauhid dengan benar)”.
Oleh karena itu, Allah Azza wa Jalla memuji sifat para nabi dan rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sa;;a, yang mereka senantiasa berdoa kepada-Nya dengan perasaan takut dan berharap, dan mereka adalah orang-orang yang selalu mengharapkan rahmat-Nya dan takut terhadap siksaan-Nya.[6]
2). Orang-orang ahli tashawwuf, umumnya, dalam menjalankan agama dan melaksanakan ibadah tidak berpedoman kepada Al-Qur`ân dan Sunnah, tetapi, pedoman mereka adalah bisikan jiwa dan perasaan mereka, serta ajaran yang digariskan oleh pimpinan-pimpinan mereka. Konkretnya dalam bentuk tarikat-tarikat bid’ah, berbagai macam dzikir dan wirid yang mereka ciptakan sendiri. Tidak jarang pula mereka mengambil pedoman dari cerita-cerita khurafat (yang tidak jelas kebenarannya), mimpi-mimpi, bahkan hadits-hadits palsu untuk membenarkan ajaran dan keyakinan mereka.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata:
“Orang-orang ahli tashawwuf, dalam beragama dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, (mereka) berpegang teguh pada suatu pedoman seperti pedoman yang dipegang oleh orang-orang Nashrani. Yaitu ucapan-ucapan yang tidak jelas maknanya, dan cerita-cerita yang bersumber dari orang yang tidak dikenal kejujurannya. Kalaupun ternyata orang tersebut jujur, tetap saja dia bukan seorang (nabi/rasul) yang terjaga dari kesalahan. Maka (demikian pula yang dilakukan orang-orang ahli tashawwuf), mereka menjadikan para pemimpin dan guru-gurunya sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka, sebagaimana orang-orang Nashrani menjadikan para pendeta dan rahib mereka sebagai penentu/pembuat syari’at agama bagi mereka”.
3). Termasuk doktrin ajaran tashawwuf, ialah keharusan berpegang teguh dengan dzikir-dzikir dan wirid-wirid yang ditentukan dan diciptakan oleh guru-guru thariqat mereka. Hingga merasa cukup dengan produk dzikir-dzikir tersebut, beribadah dan mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan selalu membacanya. Bahkan tidak jarang mereka mengklaim bahwa membaca dzikir-dzikir tersebut lebih utama daripada membaca Al-Qur`ân, dan mereka menamakannya dengan “dzikirnya orang-orang khusus”.
Adapun zikir-zikir yang tercantum dalam Al-Qur`ân dan Sunnah, mereka namakan dengan “dzikirnya orang-orang umum”. Kalimat thayyibah (lâ ilaha illallah), menurut mereka termasuk “dzikirnya orang-orang umum”. Adapun “dzikirnya orang-orang khusus” ialah melantunkan kata tunggal ( ا للة ) dengan berulang-ulang. Lebih aneh lagi, mengulang-ulang kata (Huwa/Dia), mereka sebut sebagai “dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus”.
Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullahj berkata:
“Barang siapa yang beranggapan bahwa kalimat (Lâ ilaha Illallah) adalah dzikirnya orang-orang umum, dan dzikirnya orang-orang khusus adalah kata tunggal ( ا للة ), serta dzikirnya orang-orang khusus yang lebih khusus adalah kata ganti (Huwa/Dia), maka dia adalah orang yang sesat dan menyesatkan”.
4). Sikap ghuluw (berlebih-lebihan/ekstrim) orang-orang ahli tashawwuf terhadap orang-orang yang mereka anggap telah mencapai kedudukan ‘wali’ atau terhadap guru-guru tarikat mereka.
Pengertian wali dalam kamus mereka bertentangan dengan apa yang ditetapkan oleh Al-Qur`ân. Wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla adalah orang-orang yang beriman dan bertakwa, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya tunduk (kepada Allah Azza wa Jalla). Dan merupakan kewajiban kita untuk mencintai, menghormati dan meneladani mereka.
Perlu ditegaskan di sini, bahwa derajat kewalian itu tidak hanya dikhususkan bagi orang-orang tertentu saja. Akan tetapi, setiap orang yang beriman dan bertakwa, maka ia adalah wali (kekasih) Allah Azza wa Jalla. Kedudukan sebagai wali Allah Azza wa Jalla juga tidak menjadikan diri seseorang terjaga dari kesalahan dan kekhilafan. Inilah makna wali dan kewalian, dan kewajiban kita terhadap mereka, menurut pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah.
Adapun makna “wali” menurut kalangan ahli tashawwuf sangat berbeda dengan pemahaman Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Orang-orang ahli tashawwuf memiliki beberapa kriteria dan pertimbangan tertentu (yang bertentangan dengan petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah) dalam masalah ini. Mereka menobatkan derajat kewalian hanya kepada orang-orang tertentu saja tanpa dilandasi dengan dalil syari’at yang menunjukkan kewalian orang-orang tersebut.
Bahkan, tidak jarang, mereka menobatkan derajat kewalian kepada orang yang tidak dikenal keimanan dan ketakwaannya, atau kepada orang yang dikenal mempunyai penyimpangan dalam keimanan. Seperti orang yang melakukan praktek perdukunan, sihir dan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah Azza wa Jalla, melakukan hal-hal yang aneh-aneh atau di luar kebiasaan.
Kita dapat menjumpai mayoritas orang-orang ahli tashawwuf menobatkan seseorang sebagai “wali” hanya dikarenakan orang tersebut mampu menyingkap tabir dalam suatu masalah, atau orang tersebut melakukan sesuatu yang di luar kemampuan manusia. Seperti terbang di udara menuju ke Makkah atau tempat-tempat lainnya. Terkadang berjalan di atas air, ketika ada orang yang meminta pertolongan kepadanya dari tempat yang jauh atau setelah dia mati, maka orang itu melihatnya datang dan menyelesaikan keperluannya, memberitahukan tempat barang-barang yang dicuri, memberitakan hal-hal yang ghaib (tidak nampak), dan lain-lain. Padahal, kemampuan melakukan hal-hal ini sama sekali tidak menunjukkan bahwa pelakunya adalah wali Allah Azza wa Jalla.
Kaum mukminin telah sepakat dan sependapat mengatakan, jika ada orang yang mampu terbang di udara atau berjalan di atas air, maka kita tidak boleh terpedaya dengan penampilan tersebut sampai kita melihat, apakah perbuatannya sesuai dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ? Apakah orang tersebut selalu mentaati perintah beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menjauhi larangannya? Karena hal-hal yang di luar kemampuan manusia ini bisa dilakukan oleh banyak orang kafir, musyrik, ahli kitab, ataupun orang munafik. Bisa juga dilakukan oleh para pelaku bid’ah dengan bantuan setan/jin. Oleh karena itu, setiap orang yang mampu melakukan hal-hal di atas, sama sekali, tidak boleh dianggap sebagai wali Allah.[7]
Kemudian, ternyata kesesatan orang-orang ahli tashawwuf tidak sampai di sini saja. Sebab, sikap mereka yang berlebih-lebihan dan melampaui batas dalam mengagungkan orang-orang yang mereka anggap sebagai “wali”, sampai-sampai mereka menganggap “para wali” tersebut memiliki sifat-sifat ketuhanan, seperti mengetahui hal-hal yang ghaib. Pada gilirannya, menjerumuskan mereka ke dalam perbuatan syirik dengan menjadikan “para wali” tersebut sebagai sesembahan selain Allah Azza wa Jalla.
5). Termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat adalah mendekatkan diri kepada Allah Azza wa Jalla dengan nyanyian, tarian, tabuhan rebana dan bertepuk tangan. Semua ini mereka anggap sebagai amalan ibadah kepada Allah Azza wa Jalla (?!).
Dr. Shâbir Thu’aimah berkata dalam kitab ash-Shûfiyyah, Mu’taqadan wa Maslakan: “Saat ini, tarian shufi modern telah dipraktekkan oleh mayoritas tarikat Shufiyyah dalam pesta-pesta perayaan ulang tahun beberapa tokoh mereka. Para pengikut thariqat berkumpul untuk mendengarkan nada-nada musik, yang terkadang didendangkan oleh lebih dari dua ratus pemain musik pria dan wanita. Sedangkan para murid senior, dalam pesta ini duduk sambil mengisap berbagai jenis rokok, dan para tokoh senior beserta para pengikutnya membacakan beberapa kisah khurafat (bohong) yang terjadi pada sang tokoh yang telah meninggal dunia…”.
6). Juga termasuk doktrin ajaran tashawwuf yang sesat, yaitu apa yang mereka namakan sebagai suatu keadaan/tingkatan, yang jika seseorang telah mencapainya, maka ia akan bebas dari kewajiban melaksanakan syariat Islam. Keyakinan ini muncul sebagai hasil dari perkembangan ajaran tashawwuf. Karena asal mula ajaran tashawwuf ialah melatih jiwa dan menundukkan watak dengan berupaya memalingkannya dari akhlak-akhlak yang jelek, dan membawanya pada akhlak-akhlak yang baik, seperti sifat zuhud, tenang, sabar, ikhlas dan jujur, menurut klaim mereka.
Tidak diragukan lagi –menurut pandangan orang-orang yang berilmu dan orang-orang yang beriman– bahwa ucapan ini termasuk kekufuran yang paling besar. Bahkan ucapan ini lebih buruk dari pada ucapan orang-orang Yahudi dan Nashrani. Karena orang-orang Yahudi dan Nashrani, mereka mengimani sebagian (isi) kitab suci mereka dan mengingkari sebagian lainnya. Dan mereka itulah orang-orang kafir yang sebenarnya. Mereka juga membenarkan perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla, meyakini janji dan ancaman-Nya. Kesimpulannya, orang-orang Yahudi dan Nashrani yang berpegang pada ajaran agama mereka yang telah dihapus (dengan datangnya agama Islam) dan telah mengalami perubahan dan rekayasa, mereka ini lebih baik (keadaannya) dibandingkan orang-orang yang menyangka bahwa mereka telah bebas dari kewajiban melaksanakan perintah Allah Azza wa Jalla secara keseluruhan. Karena dengan keyakinan tersebut, berarti mereka telah keluar dari ajaran semua kitab suci, semua syariat dan semua agama. Mereka, sama sekali tidak berpegang kepada perintah dan larangan Allah Azza wa Jalla. Bahkan mereka lebih buruk dari orang-orang musyrik yang masih berpegang kepada sebagian dari ajaran agama yang terdahulu, seperti orang-orang musyrik bangsa Arab yang masih berpegang dengan sebagian dari ajaran Nabi Ibrahim Alaihissalam.
Untuk membenarkan keyakinan tersebut, di antara mereka ada yang berargumentasi dengan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala berikut ini:
وَاعْبُدْ رَبَّكَ حَتَّى يَأْتِيَكَ الْيَقِينُ
“Beribadahlah kepada Rabbmu sampai datang kepadamu sesuatu yang diyakini (kematian)”. [al-Hijr/15 : 99]
Kata mereka: “Makna ayat di atas ialah, sembahlah Rabbmu sampai kamu (mencapai tingkatan) ilmu dan ma’rifat, dan jika kamu telah mencapainya maka gugurlah (kewajiban melaksanakan) ibadah atas dirimu …”.
Padahal pada hakikatnya, ayat ini justru menyanggah anggapan pandangan mereka. Dikatakan oleh Hasan al-Bashri rahimahullah : “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla tidak menjadikan bagi amalan orang-orang yang beriman batas akhir kecuali kematian,” kemudian Hasan al-Bashri rahimahullah membaca ayat di atas.
Jadi, ayat di atas sangat jelas menunjukkan kewajiban setiap orang untuk selalu beribadah sejak dia mencapai usia dewasa dan berakal, sampai ketika kematian datang menjemputnya. Dalam ajaran Islam, sama sekali tidak ada yang dinamakan dengan tingkatan/keadaan, yang jika seseorang telah mencapainya maka gugurlah kewajiban beribadah atasnya, sebagaimana persangkaan orang-orang ahli tashawwuf.
PENUTUP
Setelah pembahasan di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa ajaran tashawwuf merupakan ajaran sesat yang menyimpang, sangat jauh dari petunjuk Al-Qur`ân dan Sunnah. Dengan mengamalkan ajaran ini –na’udzu billah min dzalik– seseorang bukannya semakin dekat dengan Allah Azza wa Jalla, tetapi justru semakin jauh dari-Nya. Dan hatinya, bukan semakin bersih, akan tetapi malah semakin kotor dan penuh noda.
Kemudian, jika muncul pertanyaan: “Kalau begitu, bagaimana usaha yang harus kita lakukan untuk mensucikan jiwa dan hati kita?” Maka jawabannya, sangat sederhana, yaitu pelajari dan amalkan syari’at Islam ini lahir dan batin; dengan itulah jiwa dan hati kita akan bersih[8]. Karena di antara tugas utama yang dibawa para rasul ialah mensucikan jiwa dan hati manusia dengan mengajarkan kepada mereka syariat Allah Azza wa Jalla.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
لَقَدْ مَنَّ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ إِذْ بَعَثَ فِيهِمْ رَسُولا مِنْ أَنْفُسِهِمْ يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ وَإِنْ كَانُوا مِنْ قَبْلُ لَفِي ضَلالٍ مُبِينٍ
“Sungguh Allah telah memberi karunia kepada orang-orang yang beriman ketika Allah mengutus di antara mereka seorang rasul dari golongan mereka sendiri, yang membacakan kepada mereka ayat-ayat Allah, membersihkan (jiwa) mereka, dan mengajarkan kepada mereka Al-Kitab dan al-Hikmah (as-Sunnah). Dan sesungguhnya sebelum (kedatangan Nabi) itu, mereka adalah benar-benar dalam kesesatan yang nyata”. [Ali ‘Imrân/3 ayat 164].
Maka, orang yang paling banyak memahami dan mengamalkan petunjuk Al-Qur`aan dan Sunnah dengan baik dan benar, maka dialah yang paling bersih, suci hati dan jiwanya. Dan dialah yang paling bertakwa kepada Allah Azza wa Jalla. Karena semua orang berilmu sepakat mengatakan, bahwa penghalang utama yang menghalangi seorang manusia dekat dengan Allah Azza wa Jalla ialah (kekotoran) jiwanya.[9]
Footnotes
[1]. Syarh as-Sunnah, Imam al-Barbahâri (hlm. 61), Tahqiq: Syaikh Khâlid ar-Raddâdi.
[2]. Lihat Haqîqat ash-Shufiyyah, hlm. 14.
[3]. Majmu’ al-Fatâwa, 11/6.
[4]. Ibid., hlm. 14.
[5]. Ringkasan dari pembahasan “Mauqif ash-Shûfiyyah min al ‘Ibâdah wa ad-Dîn”, oleh Syaikh Shâlih al-Fauzân dalam kitabnya, Haqiqat at-Tashawwuf, hlm. 17-38, dengan sedikit perubahan.
[6]. Lihat, misalnya firman Allah l dalam surat al-Anbiyâ`/21 ayat 90, dan ayat-ayat lainnya.
[7]. Majmu’ al-Fatâwa, 11/215.
[8]. Untuk lebih jelasnya, silahkan menelaah kitab Manhajul Anbiyâ` fî Tazkiyatin-Nufûs, karya Syaikh Salîm al-Hilâli, yang ditulis khusus untuk menjelaskan permasalahan penting ini.
[9]. Seperti disimpulkan oleh Imam Ibnul Qayyim rahimahullah dalam kitabnya, Igatsatul-Lahafan dan al-Fawa’id.
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06-07/Tahun XII/Ramadhan1429H/20085. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]
NB : Tambahan dari ( admin ) : Berikut Daftar Referensi Buku yang menjelaskan tentang ” Tasawuf ” :
Buku-buku – Sejarah Tasawuf.
Darah Hitam tasawuf (DR. Ihsan Ilahi zhahir, Darul Falah)
Sejarah Hitam tasawuf (DR. Ihsan Ilahi zhahir, Darul Falah)
Terlalu panjang untuk menjelaskannya
silahkan baca saja buku2 berikut :
- Sufi dalam timbangan Qur’an dan Sunnah (Media Hidayah – Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu)
2. Darah Hitam tasawuf (ana lupa penulisnya)
3. jalan islam versus jalan syetan (Syaikhul Islam ibnu taimiyah)
4. Talbisul Iblis/Perangkap Syetan (Pustaka kautsar- Imam Ibnul Jauzy)
Judul : Sejarah Hitam Tasawuf
Penulis : Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Dhahir
Penerbit : Darul Falah
Judul : Darah Hitam Tasawuf
Penulis : Syaikh Dr. Ihsan Ilahi Dhahir
Penerbit : Darul Falah
Judul : Kesesatan Sufi: Tasawuf, Ajaran Budha
Penulis : Ahmad bin Abdul Aziz Al-Hushain dan Dr Abdullah Mustofa Numsuk
Penerbit : Pustaka As-Sunnah
Judul : Tasawuf, Pluralisme dan Pemurtadan
Penulis : Hartono Ahmad Jaiz
Penerbit: Pustaka Al Kautsar
Judul : Tasawuf belitan Iblis
Penulis : Hartono ahmad Jaiz
Penerbit : Darul Falah
Judul : Fakta & Data Kesesatan Tasawuf Menurut Al-Qur’an dan As-Sunnah
Penulis : Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu
Penerbit : At-Tibyan
Pak Ustadz…
Kasihan umat Islam di Indonesia ini…orang-orang pinternya saling menyerang satu mazhab dengan mazhab lainnya.
Saya sangat yakin kalau para orang pinter kedua aliran belum pernah saling mendalami aliran masing-masing.
Jangan-jangan Pak Ustadz menjelek-jelekan tasawuf belum pernah belajar tasawuf…
Salam Pak Ustadz.
Mas Suroso, dan mas Jelatang sebenarnya kalau antum melihat dengan kaca mata ilmiyah ( ilmu ) , sebenarnya artikel tersebut tidaklah menyalahkan atau menghujat dengan membabi buta ( atau asal menyalahkan ), Bisa dikatakan artikel tersebut adalah Sebuat Nasehat kepada saudara sesama Muslim agar saudaranya mencari kebenaran sebagaiamana yang dimaukan Allah dan rasulNya ( Kitabullah dan Sunnah Nabi yang shahih ).
Beda antara menyalahkan atau menghujat dengan Nasehat yang ditunjukkan dengan dalil, Burhan dan contoh atau bukti. Dan perlu diketahui perkataan dalam risalah tersebut bukanlah perkataan individu dari saya, atau penulis artikel diatas, tetapi risalah tersebut adalah penjelasan dari para Ulama-ulama didalam kitab-kitab mereka. Sebagaimana dijelaskan oleh artikel diatas.
Alhamdulillah , sesungguhnya selama perjalanan hidup saya , saya dulu dibesarkan dilingkungan orang yang berpaham Tasawuf sampai dengan Qodar Allah setelah saya merantau akhirnya Allah memberikan hidayah mengenal Manhaj Ahlus Sunnah wal jama’ah dakwah Salafiah yang penuh barokah berdasarkan Ilmu ( mengenal Islam dengan dalil ), mahjaj Ilmiyyah, sebagaimana agama ini yang dipahami oleh Salaful Ummah umat ini , 3 generasi terbaik umat ini ), tidak taklid buta dengan pendapat yang tidak ada landasan dalilnya. Yang ditaklidi hanya Rasulullah shallallaahu alaihi wa sallam.
Kalau diceritakan bagaimana saya dulu mempelajari tasawuf /Tarekat maka akan panjang, sekedar berbagi bahwa saya juga pecinta ziarah wali, pengikut Tarekat naqsabandi di Surabaya daerah Jemur sari ) , Majelis Istighotsah , Belajar karomahan, pengamal puasa2 yang tidak ada contoh dari Rasulullah Shallallaahualaihi wa sallam ( Puasa mutih, Puasa asma’ , dll), Pengagum Majelis Dzikir. Tabaruk di makam wali songo dan banyak lagi. Subhanallah dulu saya begitu fanatiknya mencintai jalan yang saya tempuh ini, bila ada yang menyalahkan karena amalan tersebut tidak ada contohnya dari Rasulullah Shallallaahu alaihi wa sallam maka saya gak terima .. marah, dan saya bilang lha wong Kyai,wali2-wali juga melakukannya koq disalahkan, apa mereka tidak tahu hukumnya atau dalilnya. Begitulah dulu saya tanpa tahu landasan dasar amalan yang telah saya lakukan apakah ada dalam Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah dan para Sahabatnya , dan Alhamdulillah setelah mengenal Manhaj salaf maka saya jadi berubah, dalam beragama sekarang haruslah berdasarkan ilmu, Hujjah, dalil dari Kitabullan dan Sunnah yang sahih. Allahu a’lam
Ralat sedikit , saya bukan ustadz tapi orang yang lagi belajar menuntul ilmu dienul islam yang shahih. Barokallahu fiykum saudaraku.
ya,benar Pak Suroso…
memang harus diwaspadai…
memang terkadang sering terjadi…
yang menyalahkan belum tentu lebih baik daripada yang disalahkan…
ass, essensi Islam itu Tauhid dan jalan yang ditempuh bermacam-macam. Kalau jalan Islam seperti ini, harus saling berlapang dada dan diterima sebagai perbedaan yang berisi ROHMAT, Ber-Tuhan sama dan Ber-Nabi sama. Hati adalah organ tubuh yang terpenting untuk menentukan baik dan tidaknya perilaku Jasmani dan Rohani! Pelajaran tentang hal yang tersurat agak gamblang, sedangkan apa yang tersirat hanya didapat dari KELEMBUTAN HATI. Jarang orang galak punya hati lembut, kecuali Umar ra dan Ali kw,ABU DZARR ra. Berbahagia dan bersyukurlah yang berhati lembut sehingga bisa menangkap essensi Islam seperti Ibrahim bin Adham, Dzun Nun, Bayazid al Bistham, Junayd al Baghdad, Ibn Attho, Muhasibi, Al Ghozali, Atthar from Nisyapur, Jalaluddin Rumi semoga beliau semua dirohmati Alloh swt….hanyalah kelembutan yang mudah menerima perbedaan dalam kebenaran hakiki! Mengapa Al Ghazali MGBH pernah merasakan KERAGUAN ( skeptisisme)setelah memahami hampir semua ilmu…kalau anda tidak merasa DEKAT, tentu anda merasa perlu mencari….. untuk MENDEKAT!