Teladan dan Pelajaran berharga dari sebuah perjanjian Hudaibiyah dari Abu Bakar dan Umar Rodhiyallahu anhuma ( Antara logika akal dan Taslim kepada Wahyu )
Kisah ini hanya mengangkat dan menggambarkan bagaiamana sikap dari kedua Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dalam mengahadapi isi Perjanjian Hudaibiyah yang ditetapkan Suku Quraisy dengan kaum Muslimin yang dipimpin oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang isinya merugikan kaum Muslimin
Sebagaimana perkembangan yang terjadi di Jazirah Arab semakin menguntungkan pihak kaum Muslimin. Sedikit demi sedikit sudah mulai terlihat sinyal-sinyal kemenangan yang besar dan keberhasilan Dakwah Islam.
Langkah-langkah permulaan sudah dirancang untuk mendapatkan pengakuan terhadap hak orang-orang Muslim dalam melaksanakan Ibadah di Masjidil Haram yang dihalangi orang-orang Musyrik selama enam Tahun.Selagi masih berada di Madinah , Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bermimpi bahwa beliau bersama Sahabat memasuki Masjidil Harom, mengambil kunci Ka’bah , melaksanakan Thawaf dan Umroh . Beliau menyampaikan mimpinya ini kepada para Sahabat dan mereka tampak senang.
Menurut perkiraan mereka pada tahun itu pula mereka memasuki Makkah , Tidak lama kemudian beliau mengumumkan hendak melakukan Umroh . maka mereka para sahabat melakukan persiapan untuk mengadakan perjalanan jauh . Peristiwa ini terjadi pada tahun ke6 H. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersama para Sahabat Rodhiyallahu anhum ( Sekitar 1400 orang) dalam perjalanan menuju Makkah untuk melakukan Umroh .
Namun demikian berita bahwa Kaum Muslimin mau pergi menuju Makkah terdengar oleh Bangsa Quraisy , dan mereka menyelenggarakan majlis permusyawaratan , dan keputusannya adalah apapun caranya mereka hendak menghalangi kaum Muslimin untuk memasuki Makkah.
Singkat cerita walaupun bagaimana Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegaskan bahwa kedatangan kaum muslimin ke Makkah bukan dalam rangka untuk berperang, Namun demikian Kaum Quraisy berupaya segala cara agar kaum Muslimin tidak bisa sampai ke Makkah.
Akhirnya disepakati lah sebuah perjanjian yang dikenal dengan “ HUDAIBIYAH”, yang isinya merugikan Umat Islam . Adapun isinya adalah :
1. Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam harus pulang pada tahun ini, dan tidak boleh memasuki Makkah kecuali tahun depan bersama orang-orang Muslim. Mereka diberi jangka waktu selama tiga hari berada di Makkah dan hanya boleh membawa senjata yang biasa dibawa musafir, yaitu pedang yang disarungkan. Sementara pihak Quraisy tidak boleh menghalangi dengan cara apa pun.
2. Gencatan senjata di antara kedua belah pihak selama sepuluh tahun, sehingga semua orang merasa aman dan sebagian tidak boleh memerangi sebagian yang lain.
3. Barangsiapa yang ingin bergabung dengan pihak Muhammad dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya, dan siapa yang ingin bergabung dengan pihak Quraisy dan perjanjiannya, maka dia boleh melakukannya. Kabilah mana pun yang bergabung dengan salah satu pihak, maka kabilah itu menjadi bagian dari pihak tersebut. Sehingga penyerangan yang ditujukan kepada kabilah tertentu, dianggap sebagai penyerangan terhadap pihak yang bersangkutan dengannya.
4. Siapa pun orang Quraisy yang mendatangi Muhammad tanpa izin walinya (melarikan diri), maka dia harus dikembalikan kepada pihak Quraisy, dan siapa pun dari pihak Muhanunad yang mendatangi Quraisy (melarikan diri darinya), maka dia tidak boleh dikembalikan kepadanya.
Kemudian beliau memanggil Ali bin Abu Thalib rodhiyallahu anhu untuk menulis isi perjanjian ini.
Beliau mendiktekan kepada Ali: Bismillahir-rahnianir-rahim.
Suhail menyela, ‘Tentang Ar-Rahman, demi Allah aku tidak tahu siapa dia? Tetapi tulislah: Bismika Allahumma. “
Maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memerintahkan Ali bin Abu Thalib rodhiyallahu anhu untuk menulis seperti itu.
Kemudian beliau mendiktekan lagi, “Ini adalah perjanjian yang ditetapkan Muhammad, Rasul Allah.”
Suhail menyela, “Andaikan saja kami tahu bahwa engkau adalah Rasul Allah, tentunya kami tidak akan menghalangimu untuk memasuki Masjidil Haram, tidak pula memerangimu. Tetapi tulislah: Muhammad bin Abdullah. “
Beliau bersabda,
“Bagaimanapun juga aku adalah Rasul Allah sekalipun kalian mendustakan aku. ” Lalu beliau memerintahkan Ali bin Abu Thalib untuk menulis seperti usulan Suhail dan menghapus kata-kata Rasul Allah yang terlanjur ditulis. Namun Ali menolak untuk menghapusnya. Akhirnya beliau yang menghapus tulisan itu dengan tangan beliau sendiri.
Maka tak ayal lagi , Para Sahabat murung dan merasa kecewa berat , karena mereka sudah diberitahu oleh Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bahwa umat Islam akan memasuki Makkah dalam keadaan Ihrom , tiba-tiba dihentikan dan tidak boleh masuk kota Makkah.Diantara Sahabat yang paling kecewa berat adalah Umar ibn khaththab Rodhiyallahu anhu.
Maka ia mendatangi Nabi Shallallahu alaihi wa sallam dan berkata :
“ Wahai Rasul, bukankah kita ini berada diatas kebenaran ? dan mereka diatas kebatilan ?
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab“ Ya benar, “
Umar bin Khaththab bertanya lagi :
“ Bukankah korban yang mati diantara kita masuk surga ?, dan korban diantara mereka berada di Neraka ?”
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab“ Ya betul, “
Umar bin Khaththab bertanya :
“ Lalu mengapa kita merendahkan agama kita dan kembali , padahal Allah Ta’ala belum lagi membuat keputusan antara kita dan mereka ?”
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab“
Wahai Ibnul Khaththab, aku ini Rasulullah ( Utusan Allah ) , aku tidak akan mendurhakaiNya . Dan Ia adalah Penolongku , Ia tidak akan menelantarkan aku .”
Umar bin Khaththab bertanya lagi :
“ Bukankah engkau telah memberitahukan kepada kami bahwa kita akan mendatangi Ka’bah dan Thawaf di sana ?”
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menjawab:
“ Ya betul. Tapi apakah aku menjanjikan /mengatakan kita kesana tahun ini ?”
Umar bin Khaththab menjawab : “ Tidak “.
Nabi Shallallahu alaihi wa sallam bersabda :
“ Makanya , kalau begitu engkau akan pergi ke Ka’bah dan Thawaf disana tahun depan
Umar masih penasaran dengan hati yang masih kesal . Kemudian ia mendatangi Abu Bakar Rodhiyallahu anhu ditempat yang berbeda dan mengajukan pertanyaan pertanyaan seperti yang diajukan kepada Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam.
Subhanallah, ternyata Abu Bakar ditempat yang berbeda itu juga memberikan jawaban yang sama persisdengan jawaban Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Lalu Abu Bakar Rodhiyallahu anhu menambahkan :
“ Fastamsik bighorzihi hattaa tamuutu fawallahi innahu la’alaal haqqi “
“ Patuhlah kepada perintah dan larangan beliau sampai engkau meninggal dunia . Demi Allah , sesungguhnya beliau berada diatas kebenaran.”
Kemudian turun wahyu ( QS. Al fath: 1 )
إِنَّا فَتَحْنَا لَكَ فَتْحًا مُبِينًا
Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, ( QS : Al Fath 1)
Dan seterusnya dari surat Al Fath.
Umar bertanya :
“ Wahai Rasulullah , apakah itu benar-benar sebuah kemenangan ? “
“Benar” , jawab beliau.
Barulah hatinya merasa tenang. Kemudian dia baru menyadari tindakannya itu , sehingga dia amat menyesal karenanya.
Umar Berkata : “
“ Setelah itu aku terus menerus melakukan berbagai amal , bershadaqoh, berpuasa , sahalat dan berusaha membebaskan dari apa yang telah kulakukan saat itu. “ Dia berharap itu semua merupakan kebaikkan yang dapat menebus kesalahannya ( Ar Rahiqul Mahtun hal 329 )
Sejak itu pula Umar berkata mengukir sebuah kaidah :
“ Wahai manusia curigailah pendapat atas agama, Sungguh saya pernah menolak perintah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dengan pendapatku . Demi Allah saya tidak akan lagi meremehkan kebenaran “ ( Thabrani Kabir 82, Bazzar: 148, Bukhari : 3953 dari Sahl Ibn Hunaif Ibn, Abi Syaibah dari Abu Mas’ud : 37615 )
Pelajaran penting !
# Dalam perjanjian itu, umat Islam diberikan berbagai macam syarat yang secara ‘strategi kasat mata orang biasa’ atau bahasa kita menurut akal logika bahwasannya Isi perjanjian Hudaibiyah sama sekali tidaklah menguntungkan umat Islam.
Kerugian yang Dialami Kaum Muslimin dalam Perjanjian Hudaybiyah
- Penghapusan kalimat Bismillahirrahmaanirrahim dan diganti menjadi Bismika Allahumma.
- Kalimat Muhammad Rasulullah dihapus dan diganti menjadi Muhammad Bin Abdullah.
- Adanya ketimpangan dalam hal ekstradisi, sebagaimana diatur dalam klausul ke empat perjanjian Hudaibiyah. Hal ini menyebabkan tertolaknya beberapa sahabat yang menyusul dari Makkah kepada rombongan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
- Terjadi keresahan dan krisis kepercayaan sejenak atas kepemimpinan Nabi Muhammad Shallallahu alaihi wa sallam.
Pada dasarnya, perjanjian yang monumental ini sebelumnya tidak disukai sahahat-sahabat Nabi seperti Umar, Ali dan beberapa sahabat lain karena dianggap merugikan ummat Islam, karena dalam memutuskan isi perjanjian ini Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam tidak mengajak berunding para sahabatnya dan sempat menimbulkan kegaduhan di antara sahabat Nabi sendiri, kecuali Abu Bakar Ash-Shiddiq yang tetap mantap dengan segala isi perjanjian ini.
Namun demikian ada beberapa hal dari perjanjian tersebut yang memberikan keuntungan kaum muslimin diantaranya :
- Pihak Quraisy mengakui eksistensi Madinah sebagai negara kaum Muslimin dan Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai pemimpinnya. Sebab sudah sekian lama pihak Quraisy tidak mau mengakui sedikit pun keberadaan orang-orang Muslim, dan bahkan mereka hendak memberantas hingga ke akar-akarnya. Mereka menunggu-nunggu babak akhir dari perjalanan orang-orang Muslim. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan, mereka mencoba memasang penghalang antara dakwah Islam dan manusia, sambil membual bahwa merekalah yang layak memegang kepemimpinan agama dan roda kehidupan di seluruh. jazirah Arab. Sekalipun hanya mengukuhkan perjanjian, namun ini sudah bisa dianggap sebagai pengakuan terhadap kekuatan orang-orang Muslim, di samping orang-orang Quraisy merasa tidak sanggup lagi menghadapi kaum Muslimin.
- Kaum Muslimin dapat bebas berziarah ke Madinah kapanpun mereka menghendaki, kecuali pada tahun di mana perjanjian Hudaibiyah ditandatangani, sebagaimana termaktub pada klausul pertama perjanjian ini. Klausul pertama merupakan pagar pembatas bagi Quraisy, sehingga mereka tidak bisa menghalangi seseorang untuk memasuki Masjidil Haram.
Adapun maksud inti dari kisah diatas tersebut agar bisa diambil sebagai suri tauladan dan pelajaran berharga adalah mensoroti ketauladanan dua Sahabat Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam sebagai syiar Ahlus Sunnah wal jama’ah yaitu sikap Abu Bakar dan Umar bin Khaththab Rodhiyallahu anhuma
1. Lihat Abu Bakar Rodhiyallahu anhu dimana beliau selalu mengatakan dimana saja dan kapan saja :
“ Lainkaana qoola dzalika laqod shodaqo “ “ Jika Nabi benar –benar mengatakan demikian maka pasti benar “
2. Lihat Umar bin Khaththab rodhiyallahu anhu selalu rujuk kepada kebenaran. Meskipun tadinya ia merasa pendapatnya benar , tetapi setelah datang kebenaran ( dalil yang benar ) , maka ia cepat-cepat tunduk kepada kebenaran itu. Tidak ngotot dengan pendapatnya sendiri atau mengikuti hawa nafsunya. Bahkan dia mengukir kaidah yang ke dua :”
Yaa Ayyuhaan Naasu ittahumuu ar Ra’ya ‘alaa Ad diini “
“ Wahai manusia curigailah pendapat atas agama …!
Di atas prinsip Abu Bakar dan Umar bin Khaththab Rodhiyallahu anhuma itulah para Imam Madzhab berjalan .
Misalnya Imam Syafi’I Rohimahullah berprinsip :
“Idzaa shohha al hadiitsu fahuwa madzhabiy”
“ Idzaa shohha al hadiitsu faadhribuu bimadzhabiy ’ardho “
“ Idzaa shohha al hadiitsu khilaafa qouliy faa’maluu bil hadiitsi waatrukuu qouliy “
“ Idzaa wajadtum fiy kitaabiy khilaafa sunnata Rosuulillahi faquuluu bisunnati Rosuulillahi wada’uu biqouliy “
“ Jika Hadist itu shohih maka itulah madzhabku “
“ Jika hadist itu shohih maka lemparkanlah ucapanku ke tembok”
“ Jika Hadist itu shohih berbeda dengan ucapanku maka amalkanlah hadist itu dan Tinggalkanlah ucapanku “
Jika kamu dapati di dalam Kitabku hal yang menyalahi Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam maka ucapkanlah dengan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam dan tinggalkanlah ucapanku “ ( Shifat Sholat Nabi Shallallahu alaihi wa sallam Hal 58 )
Nah, Sikap beragama seperti inilah yang harus kita ikuti, Yaitu sikap beragama yang mendahulukan “ Firman Allah ta’ala “ dan “ Sabda Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam “ . Tidak dikalahkan oleh pendapat orang atau pendapat pribadi atau adat istiadat , apalagi oleh hawa nafsu, yaitu dengan model beragama “ Pokoknya “ : pokoknya guru saya berpendapat begini , kelompok saya begini, Organisasi saya begini, Partai saya begini, meskipun tidak ada dalil atau bertentangan dengan dalil, tetap diikuti saja. Ini namanya mengikuti jalan yang bengkok, bukan jalan yang lurus ( ash Shirothul Mustaqim ).
Sedang ash –Shirothul Mustaqim, maka itulah jalan yang ditempuh oleh Abu Bakar, Umar dan segenap para Sahabat rodhiyallahu anhum, Juga para Imam , beserta para pengikutnya samapai hari kiamat.
Sebab, kalau Allah Subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya sudah menetapkan suatu perkara , apakah itu Aqidah, Ibadah, Mu’amalah, Hukum,akhlak dan sebagainya maka tidak ada pilihan lain bagi umat Islam kecuali mengikutinya dengan tunduk patuh, Sami’na wa atha’na .
Sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa ta’ala :
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلا مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلالا مُبِينًا
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. ( QS. Al –ahzab ; 36 )
إِنَّمَا كَانَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِينَ إِذَا دُعُوا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُولُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan rasul-Nya agar rasul menghukum (mengadili) di antara mereka ialah ucapan.” “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung. ( QS. An –Nur : 51)
Sungguh tepat dan tidak salah kalau Abu Aliyah mengatakan bahwa Ash Shirothul Mustaqim ( Jalan yang lurus ) itu adalah jalannya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab Rodhiyallahu anhuma. Sebab ternyata Abu Bakar dan Umar bin Khaththab rodhiyallahu anhuma lebih mendahulukan Iman dan wahyu daripada sekedar pendapat dan hawa Nafsu .
Semoga Allah Tabaroka wa Ta’ala menjadikan kita semua sebagai pengikut setianya Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam, Abu Bakar dan Umar bin Khaththab Rodhiyallahu anhuma serta para Sahabat, Tabi’in , Tabiut Tabi’in, para Imam yang berjalan diatas Kitabullah dan Sunnah Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam yang shaih yang kita kenal dengan Salafus Shalih. Amin.
Sumber :
1. Tafsir Ibnu katsir , Darul Jil Bairut, tt. Juz 1
2. Shafiyurrahman al Mubarakfury , ar Rahiqul Maktum, Darus Salam Lin-Nasyr wat Tauzi’, Riyadh 1418H
3. Siroh Nabawiyah ( terjemahan ) Syaikh Shafiyyur – Rahman Al- Mubarokfury ( Pustaka al Kautsar Jakarta 2004 )
4. Syaikh Nashiruddin al Albani , Shifat Shalat nabi ( terjemahan ), media Hidayah Yogyakarta, 2000
5. Majalah Qiblati Edisi 10 tahun ke 2- Juli 2007M.
Filed under: Manhaj |
Leave a Reply